Memakai AI itu harus seperti kursor, bukan hanya diklik, tapi juga diarahkan
Dulu, ketika orang-orang bicara soal AI, kebanyakan hanya membayangkan chatbot pintar yang bisa menjawab pertanyaan menggunakan teks. Kalau mau bikin puisi, tinggal tulis, "Buatkan puisi tentang hujan dan kenangan." Sekejap, muncul hasilnya. Simpel, praktis, dan... ya sudah, selesai di situ. Tapi sekarang? AI sudah jauh lebih gila. Bukan cuma bisa bikin teks, tapi juga gambar, musik, bahkan video dari perintah yang kita ketik. Salah satu AI yang saya temui misalnya Google Veo, AI yang bisa mengubah perintah teks ataupun gambar jadi video.
Tapi ada satu kebiasaan yang masih terus terbawa, yaitu kita terlalu gampang puas sama hasil jadi dari AI. Kita masih terbiasa dengan mindset "tinggal duduk, ketik prompt, terima hasil, selesai." Contohnya, "Buatkan video iklan layanan masyarakat tentang permasalahan lingkungan." AI langsung proses, terus jadi. Tapi... apakah cukup sampai di situ?
Coba perintahnya diubah menjadi semakin kompleks. Gimana kalau perintahnya bukan sekadar "buatkan," tapi
"Buatkan foto/gambar ini menjadi visual bergerak yang keren dan berikan instruksi yang sesuai agar iklan ini bisa menarik audiens."
Nah, dari situ AI bakal bekerja dengan cara yang berbeda. Bukan hanya bikin video sekali jadi, tapi juga kasih semacam "script", mulai dari urutan scene, teks yang harus muncul, bahkan saran audio yang pas. Ini bukan cuma hasil instan, tapi bahan mentah yang bisa diolah lebih jauh lagi, terutama kalau kita memang punya skill editing.
Karena gini, hasil AI itu keren, tapi tetap saja masih kasar. Ibaratnya batu permata yang belum dipoles. Di sinilah peran manusia tetap penting. Hasil video dari AI itu bisa jadi bahan dasar atau referensi. Nah, di sinilah kita harus brainstorming agar bisa menggarapnya lebih serius, dari cut to cut, transisi, pemilihan font, efek suara, dan elemen-elemen lainnya. Aplikasi seperti CapCut, Premiere Pro, atau DaVinci Resolve akan sangat berguna untuk bikin hasil akhirnya jadi jauh lebih matang.
Kuncinya ada pada perintah dan cara prompting yang benar sehingga AI bisa lebih tau maksud dari isi perintah yang diberikan. Kalau kita hanya minta hasil jadi, ya kita bakal dapat sesuatu yang cepat tapi generik. Tapi kalau kita minta instruksi lanjutan, misalnya saran scene untuk emosi yang berbeda, arah pengambilan gambar virtual, bahkan pendekatan naratif, maka kita bisa masuk lebih dalam ke proses kreatif. AI jadi semacam asisten sutradara, bukan cuma mesin pembuat video.
Pendekatan ini juga punya manfaat besar untuk pembelajaran. Buat yang masih belajar soal videografi, mereka jadi paham alur pembuatan karya visual dari awal hingga akhir. Dari skrip, storyboard, arah visual, hingga final editing. Bahkan AI bisa kasih kita breakdown scene yang terstruktur.
Betapa kompleks dan terarahnya jika kita minta AI untuk kasih instruksi, bukan cuma hasil. Di titik ini, AI bukan jadi alat pasif, tapi partner kerja. Seiring berjalannya waktu, AI juga akan menyesuaikan gaya bahasa penggunanya sehingga kita tidak perlu mengulang perintah lagi. Bahasa gampangnya, kita sudah punya template untuk prompting atau memberi perintah jika suatu saat dibutuhkan.
Inilah sebenarnya arah pemanfaatan AI yang lebih ideal. AI bukan untuk menggantikan kreativitas manusia, tapi untuk mempercepat, membangun, dan memperkuat. Kita tetap butuh kepekaan visual, pemilihan elemen yang pas, dan nuansa storytelling yang menyentuh emosi. AI bisa bantu kita dari awal, tapi sentuhan manusia tetaplah yang membuat karya itu punya "jiwa."