Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, Indonesia menghadapi tantangan besar: menjaga jati diri budaya di tengah gempuran budaya luar. Di sinilah peran literasi budaya menjadi sangat vital. Bukan hanya soal tahu tarian tradisional atau pakaian adat semata, tetapi lebih jauh: memahami nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kita dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, budaya kerap hanya dijadikan pajangan saat perayaan hari besar atau festival. Padahal, budaya adalah napas dari kehidupan bangsa. Ketika anak-anak lebih mengenal idol Korea daripada pahlawan lokal, atau lebih hafal lirik lagu Barat dibanding pepatah Minang, maka sudah saatnya kita bertanya: di mana letak kegagalan kita dalam menanamkan literasi budaya?
Literasi budaya bukan soal menghafal sejarah, melainkan kemampuan memahami konteks, nilai, dan makna di balik sebuah tradisi. Misalnya, "makan bajamba" di Minangkabau bukan hanya soal makan bersama, tapi tentang kesetaraan, kebersamaan, dan hormat pada yang lebih tua. Ketika literasi budaya hidup, nilai-nilai luhur ini otomatis menjadi bagian dari karakter generasi muda.
Saat ini, berbagai komunitas literasi budaya mulai tumbuh di berbagai daerah dari Aceh hingga Papua. Generasi muda kembali membuat konten TikTok tentang cerita rakyat, mengemas ulang cerita nenek moyang dalam podcast, atau memadukan fashion tradisional dengan gaya kekinian. Ini adalah sinyal positif: budaya bukan sesuatu yang kuno, tapi bisa menjadi tren jika dikemas cerdas dan kreatif.
Namun, peran negara, sekolah, dan media juga tak kalah penting. Media massa, misalnya, harus aktif memberi panggung pada cerita-cerita budaya lokal. Bukan hanya berita viral dan gosip semata. Sekolah perlu menyisipkan nilai-nilai budaya dalam pelajaran, bukan sekadar lewat teori, tetapi lewat praktik dan pengalaman.
Kita tidak butuh generasi yang hanya pintar secara akademik, tetapi juga cerdas secara budaya. Melek budaya berarti tahu siapa kita, dari mana kita berasal, dan mau ke mana kita melangkah. Tanpa itu, bangsa kita hanya akan jadi penonton di panggung global.
Jadi, sebelum terlambat, mari jadikan literasi budaya sebagai gerakan bersama. Bukan hanya tugas guru atau seniman, tetapi tugas kita semua---orang tua, pemuda, media, dan pemerintah. Karena jika kita tidak mengenali budaya kita sendiri, siapa lagi yang akan menjaga dan merayakannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI