Sahur masih terasa berat bagi Adlan. Ini tahun pertama ia mencoba berpuasa penuh, dan kantuk selalu menjadi musuh terbesarnya. Ketika Ibu membangunkannya dengan suara lembut, tubuhnya terasa berat seperti dipaku ke kasur.
"Ayo, Nak. Bangun, waktunya sahur," kata Ibu, mengusap punggungnya pelan.
Adlan mengerjap, lalu menyeret tubuhnya keluar kamar. Di meja makan, Ayah dan Kakak sudah lebih dulu menikmati makan sahur. Aroma nasi hangat, telur dadar, dan teh manis menyebar ke seluruh ruangan. Adlan menguap panjang sebelum mengambil sendoknya. Tapi baru satu suap, kepalanya hampir jatuh ke piring.
Ibu tersenyum. "Ngantuk sekali?"
Adlan hanya mengangguk. Matanya sudah hampir tertutup kembali. Namun, di sela kantuknya, ia teringat sesuatu. Ia menoleh ke Ibu dengan mata sedikit berbinar.
"Bu, kalau aku berhasil puasa penuh, hadiahnya apa?"
Ibu tersenyum misterius. "Sesuatu yang kamu suka."
Adlan menegakkan tubuhnya. "Tapi kalau aku gak kuat?"
Ibu meletakkan tangannya di atas kepala Adlan. "Dicoba dulu, ya. Kalau memang tidak kuat, boleh berbuka. Tapi kalau bisa bertahan sampai maghrib, hadiahnya lebih besar."
Mata Adlan berbinar. Ini bukan sekadar puasa. Ini adalah tantangan!