Oleh: Syamsul Yakin dan Viola Dealova Sahlana
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di era digital yang serba terbuka, media sosial menjadi ruang baru bagi berbagai aktivitas, termasuk dakwah. Namun, dakwah yang tersebar di media sosial tidak selalu membawa pesan kedamaian. Fenomena dakwah radikal semakin terlihat nyata, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Dakwah radikal ini hadir sebagai lawan dari dakwah damai, dakwah moderat, dan dakwah berlandaskan akhlakul karimah.
Secara bahasa, dakwah berarti menyeru, memanggil, atau mengajak. Dalam implementasinya, dakwah merupakan kerja besar umat manusia yang telah berlangsung sejak zaman Nabi dan para sahabat. Metode dakwah pun beragam, mulai dari metode ceramah, diskusi, pemberdayaan masyarakat, hingga media tulis dan virtual. Namun, dalam spektrum ilmu dakwah, istilah "dakwah radikal" sebenarnya adalah kontradiksi. Sebab, kata "radikal" secara etimologis berarti ekstrem, fanatik, dan menolak posisi tengah. Dakwah seharusnya menyampaikan pesan dengan bijak, mempertimbangkan maqashid al-syari'ah, bukan menyebarkan pesan kebencian.
Dengan menggunakan teori jarum hipodermik dari David K. Berlo, dakwah radikal di media sosial digambarkan seperti peluru yang langsung masuk ke pikiran khalayak. Pesan yang mereka sampaikan tidak jarang bersifat indoktrinatif dan memaksa. Namun, khalayak media masa kini juga memiliki daya seleksi, sebagaimana dijelaskan dalam teori uses and gratifications. Masyarakat memiliki kemampuan untuk memilih sendiri konten yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka.
Tulisan ini mempertanyakan klaim eksklusivitas kelompok dakwah radikal yang menyebut diri sebagai representasi Islam paling murni dan otentik, sembari menolak keberadaan kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Mereka jarang sekali menerima pandangan lain yang berbeda, bahkan sering menyalahkan kelompok lain dengan tuduhan takfiri, hakimiyah, dan jihad dalam pengertian yang sempit.
Istilah "dakwah radikal" bukan hanya menjadi lawan dari "dakwah damai", tapi juga identik dengan praktik seperti membajak Islam untuk kepentingan tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh John L. Esposito. Mereka memanfaatkan ayat-ayat al-Qur'an dan hadis secara sepotong-potong untuk kepentingan ideologis tertentu. Hal ini sering kali mengaburkan makna Islam yang sejati dan menjauh dari prinsip kasih sayang dan keadilan sosial.
Dengan meminjam teori dari Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, dapat dipahami bahwa pesan dakwah radikal di media sosial adalah hasil dari tekanan ideologis internal dalam organisasi dakwah itu sendiri. Tekanan tersebut bisa berasal dari lingkungan sosial, budaya, maupun politik, baik di tingkat individu maupun kolektif.
Tulisan ini juga mencoba mengkritisi tesis Bernard Lewis yang menganggap semua kelompok dakwah radikal sebagai representasi Islam paling otentik. Pandangan ini perlu diluruskan. Dakwah radikal yang tersebar di media sosial bukan hanya menyimpang dari tujuan dakwah sesungguhnya, tapi juga dapat mengancam harmoni sosial. Karena itu, penting untuk menyeimbangkan wacana media sosial dengan memperbanyak konten dakwah damai dan moderat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI