Mohon tunggu...
Vino Warsono
Vino Warsono Mohon Tunggu... -

Kelahiran 30 Juni/5 Sya'ban 1399 di Kaplongan Lor, Karangampel, Indramayu. Pernah diterima kuliah di Sospol UNDIP Semarang dan kuliah Bisnis di UNTAG Cirebon. Pernah bergabung dalam partai PPP & PAN. Pernah memimpin beberapa Ormas (Islam & Umum). Pernah aktif menulis Sastra untuk Majalah Muslimah, Mitra Dialog Cirebon-Pikiran Rakyat Group, dan Cirebon FM (2001-2004). Pernah bekerja sebagai Waiter, Pramuniaga, dan menjadi seorang Manager di sebuah Perusahaan Retail Swasta Nasional. Sekarang sedang membangun sebuah usaha dalam bidang Olahraga (Vino Sportainment Store) sebagai seorang Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perjamuan Air Mata (2)

1 Desember 2009   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Begitulah, nyata kedalaman cinta Tita terhadap Andi. Keberduan mereka ternyata setia diintip rembulan yang mulai meyingsingkan jubahnya perlahan, rupanya sang rembulan sedang mempersiapkan dirinya menjadi purnama, yang diharapkan mampu menebarkan kehangatan sinarnya. Sejenak kemudian Andi berujar, “Engkau kini adalah kekasihku yang berangkat dari kehausan jiwa mengapung, dan purnama malam inilah yang telah menyaksikan keharuman cinta kita. Takkan aku biarkan mentari merongrong kelembutan cintaku dan cintamu. Mulai hari ini pertautan kasih kita takkan pernah kulepaskan hingga jiwa-jiwa kita dipanggil kembali oleh yang maha pemberi cinta. Aku harap engkau ikhlas menaungi kehidupan dan keberduaan kita hanya dengan sari madu lebah termanis sepanjang abad ini.” Begitu lekatnya pertauatan cinta mereka hingga air laut dan ombak pantai pun bungkam tak sanggup mengomentari perasaan yang membalut keduanya. Malam sangat riang menapaki perjalanannya sambil menyebarkan semilir angin bersahaja mengelilingi perbukuitan kaki, di mana bebilik Tita singgah patri di pelatarannya. Dari situ seluruh keajaiban dunia seolah terlihat dengan jelas tanpa samar sedikitpun termasuk suara derai ombak yang menyapu kerang-kerang kecil di pantai. Gemercik embun lirih membasahi dedaunan yang bergembira karena kemudaanya tersiram kesejukan yang siap mereka hantarkan nanti, pada kebutaan pagi, sejuk merenangi hamparan tanah yang sepertinya menghasrat kelembutan tetesan mega menggantung dari puri-puri lelangitan bersama temali bintang-bintangnya. Langit biru menyempurnakan malam yang damai itu, selaiknya mendukung keharmonisan kasih sayang antara Andi dengan Tita. Tak sekedar bulan berlalu, berganti, enam purnama telah dilewati Andi dan Tita dengan kelezatan manis madu cinta mereka. Keduanya semakin menyatu dalam bingkai kasih tulus. Andi membelai halus hitamnya rambut Tita seraya mengucap kata, “Persuaan rindu ini takkan pernah habis walau engkau kelak dipanggil yang maha kuasa. Akan selalu terkenang kerelaan cinta yang telah engkau pasrahkan semuanya untukku. Dan aku tak akan menghianati kesetiaan cinta yang selama ini engkau persembahkan. Kekasihku kaulah hidup yang sebenarnya kehidupan cinta, tiada terpupus bara taufan sekalipun.” Tita yang dibelainya hanya terdiam terpaku, karena kesakitan mengelupasi rongga kehidupannya, sedikit demi sedikit parasnya memucat, sementara garis-garis kecantikannya masih nampak jelas tergurat mesra di peraduan wajahnya. Senja kala itu terasa begitu lelap, menghantarkan kehidupan yang sementara, melambungkan ketakuatan-ketakutan akan bayang perpisahan. Hanya Andi yang merasakan kelembaban semilir angannya. Di pembaringan bebilik itu terlunglai Tita yang lemah, bertarung dengan kematian yang sedang menyapanya beringas. Tak terelakkan kata-katanya melegam. Kepada Andi ia bertutur berat, “Maafkan aku kekasih, aku tak mungkin mampu menemanimu terus selamanya. Kehidupan kita akan terpisah seiring datangnya purnama ketujuh nanti malam. Ketakmampuan diriku ini janganlah engkau nisbikan dalam kedukaan yang panjang, karena memang selayaknya kehidupan akan berlangsung dan akan memisahkan dirinya sendiri, tatkala waktu penghabisannya telah tiba, kini saatnya bagiku menguntai cintamu, tapi aku tak sanggup mengecupnya. Jagalah dirimu dan cintamu, selalu dalam keadaan putih suci. Maafkan akau kekasih, bila mana perjamuan purnama kita tergenang air mata.” Sekejap kemudian suasana bertambah semakin lengang, sunyi senyap, sepi, dingin, seakan tak ada perapian yang mampu menghangatkan bebilik cinta itu. Andi tak kuasa berkata-kata, hanya ditatapnya wajah kekasihnya yang diam, terbisu, meski dirautnya masih nampak tergurat senyum untuknya, namun senyum yang getir. Kepedihan harus merelakan kerinduan terbang, terbawa, akan terkubur pusara merah. Tak secuil cakap pun mengalir, meski sedesah. Mata Andi berkaca berkilatan emas, yang sesaat kemudian tertitik kesejatian cintanya mengalir, menetes, menyentuh bibir bisu Tita, seakan air matanya hendak merayapi kerongkongan Tita yang mendahaga kesejukan cinta. Bathinnya berbisik lirih, “Seandainya engkau tak pergi secepat ini, mungkin keberduaan kita akan selalu dipenuhi keriangan, keniscayaan. Engkau akan selalu di hatiku kekasih, takkan padam bara suci cintamu di hatiku, hingga mungkin akan aku biarkan saja perjamuan air mata purnama ini kekasih.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun