Mohon tunggu...
Vina Yolandha Manurung
Vina Yolandha Manurung Mohon Tunggu... lainnya -

Penikmat matahari pagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Realisasinya Mana Pak?" Kita?

27 Januari 2014   15:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingar bingar kehadiran pemimpin tertinggi tanah ini, Presiden Susilo Bambang Yudhono, yang sering akrab kusebut papi beye ke tempat pengungsian korban erupsi sinabung, tak pelak membuat semua kalangan diseluruh penjuru tanah karo simalem repot tak tentu arah. Ada yang sibuk membersihkan halaman rumahnya, ada yang sibuk mencabuti semua banner - banner dan poster - poster sepanjang jalan kenangan, ehh sepanjang jalan medan - kabanjahe. Ada yang sibuk menghimpun anak - anak untuk menyambut papi beye dipinggir - pinggir jalan tanpa berfikir, bahwa sudah berapa mata pelajaran yang mereka tinggalkan hanya demi "penyambutan" yang kufikir tak terlalu penting. Ada yang sibuk membersihkan pengungsian secara tergesa - gesa sehingga lupa, bahwa selokan bukan tempat sampah melainkan tempat jalannya air. Ada yang sibuk "berdandan" dengan beribu atribut dibadan, agar terlihat seperti orang dengan tanggung jawab yang super dan pada akhirnya hanya sekedar atribut belaka. Ada yang sibuk membuat aksi, dengan harapan dapat sedikit menggugah "nurani" petinggi - petinggi negeri ini, dan pada kenyataannya, dilirikpun tidak, miris!!

Sebelum hadir saja, papi beye ini sudah banyak menuai protes. Belum lagi soal broadcast disosial media, yang saya akui saya sendiri hampir "termakan" olehnya. Tenda yang digadang - gadang seharga 15 Miliar itu bisa saja diciptakan untuk jadi "bumbu" penyedap dalam kunjungan papi beye, tapi tak ada salahnya kita bercermin untuk itu. Bahwa ketika dilakukan "sidak" oleh siapapun pimpinan kita baik ditempat kita bekerja, ataupun oleh pimpinan negara sendiri, biarlah semuanya berada pada garis "normal" tanpa "terpaksa" menciptakan suasana yang nyaman dan "terkesan" aman. Artinya, kondisi yang seperti itu diharapkan mampu menyampaikan kepada petinggi - petinggi negeri ini melihat yang benar - benar melihat bukan hanya sekedarnya, atau melihat dari ujung mata saja. Bahwa bencana memang sudah meluluhlantakkan semuanya, bahkan hati dan kehidupan penghuninya.

"Gak pergi kau kesinabung vin? Ada papimu itu disana", begitu kata kawan ketika secara tidak sengaja bertemu disimpang jalan itu. "Enggaklah, banyak kerjaanku disini. Biar tau dia, bukan cumak dia aja yang bisa sibuk. Akupun bisa!!", jawaban yang penuh kelakar itu sepertinya bukan cuma bisa ditertawakan, dari sana kufikir aku ingin menegaskan, bahwa ada yang penting dan tak penting untuk diagung-agungkan ketika itu bukan jadi bagian dari kapasitasku untuk mengurusinya. Coba saja fikir, untuk apalah cobak aku kesana? Apa pentingku ada disana? Tidak ada aku, semua kegiatan papi beye masih tetap bisa dijalankan kok. Dan kufikir aku hanya akan menambah saingan jajaran para warga yang ingin menyalami papi beye. "Nanti sajalah, kalau si papi sudah pulang baru aku kesana. Pengen liat, apa jalanan masih mulus, apa pengungsian masih bersih, apa pohon - pohon masih bebas dari pemandangan poster dan slogan caleg", begitu dialog yang sempat kuhaturkan sembari berlalu.

Hari itu, hari dimana papi beye berkunjung, disetiap stasiun tipi, disemua koran harian dan bahkan diseluruh "bibir" ribuan manusia disegala penjuru sumatra utara ini membicarakan si papi. Cukup membuat pening kepala. Belum lagi banyak teman yang mengunggah foto si papi dengan pose yang kesemua nya sama, mobil hitam dengan plat RI 1 dan si papi melambai - lambai "genit" keluar jendela. Aku cuma bisa senyum - senyum saja, bahkan ketika kutau sebegitu banyaknya manusia bumi ini yang sangat menyalahkan beliau dengan pemerintahan yang mengecewakan, mereka masih dengan sempat meluangkan waktu untuk hanya sekedar melambaikan tangan pada sipapi. Luar biasa bukan??

Hari ini, disalah satu sosial mediapun kubaca komentar teman tentang kunjungan yang sudah berakhir beberapa waktu yang lalu "apa perubahan yang signifikan dari hadirnya presiden esbeye?". Aku kemudian berfikir, perubahan seperti apa yang kalian harapkan? Setaukupun, perubahan itu pakai proses yang tak bisa dibilang cepat. Seperti aku saat ini contohnya, menggunakan setelan wanita kantoran abad ini kufikir tak terlalu gampang buatku. Ada proses yang cukup lamban untukku pada tahapan ini. Merubah Vina Yolandha yang notabene tak terlalu menyukai celana bahan kain "goyang-goyang", rok "kembang-kembang", blazer hitam "pas badan", sepatu pancus ber-hills dan sejenisnya, dari kaos oblong yang lehernya sudah melar, celana jeans belel, serta sepatu konpers yang warnanya sudah kusam. Tapi itu proses, harus dilalui dan pasti akan terealisasi.

Presiden kita juga bukan orang "bodoh" yang taunya hanya cuma janji, tapi terkadang kelihatan seperti hanya sebuah janji - janji ketika beliau diapit oleh manusia - manusia "tamak" dan "penjilat". Merelokasi 5 desa yang notabene milik warga dan satu - satunya mata pencaharian warga itu tak gampang, pasti pakai proseskan? Bisa rupanya relokasi itu sehari, dua hari atau tiga hari?? Kufikir, mulailah kita percaya pada pemerintahan kita, walaupun korupsi sana sini. Apa daya?

Sudahkah kita berbuat?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun