Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Paksa Keberagaman Jadi Sama

3 September 2020   21:37 Diperbarui: 3 September 2020   21:33 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: baliexpress

Beberapa orang menyebut bahwa radikalisme tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul karena banyak sebab di antaranya adalah lingkungan termasuk pengaruh lingkungan terhadap ideologi agama. 

Beberapa tahun lalu, pendidikan, kondisi sosial ekonomi memang menjadi penyebab seseorang atau satu kelompok menjadi radikal, tetapi sebab itu bergeser jauh ke belakang karena banyak kasus menunjukkan bahwa seseorang atau suatu kelompok menjadi radikal bukan karena sebab ekonomi semata tetapi cenderung karena penetrasi oleh lingkungan dan media.

Karena itulah beberapa penelitian mengungkapkan bahwa beberapa wilayah memang rentan terpengaruh oleh bahaya laten radikalisme (dan kemudian terorisme) ini. Data yang dimiliki oleh institusi berwenang menyebut bahwa pada tahun 2018 ada 12 daerah (provinsi) yang masuk dalam katagori merah radikalisme. Angka ini belum berubah sejak 2016.

Provinsi yang rentan itu adalah Jawa Tengah, Aceh, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimentan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB dan Bali.

Tak berhenti soal wilayah, penetrasi radikalisme juga amat nyata di forum pendidikan. Sangat banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa banyak sekali kampus yang terpapar radikalisme yang umumnya dibawa oleh organisasi mahasiswa internal maupun eksternal. 

Mahasiswa yang sebagian belum tahu soal itu terpengaruh karena panutan spiritual mereka (mungkin pada dai di televisi) kehilangan pamornya karena soal komunikasi yang buruk. Para dai itu tidak dinggap menarik dan para mahasiswa berpaling dari mereka.

Penyebab kedua adalah ketika penetrasi radikal itu ada dan ternyata dilakukan dengan massif (dan sering dilakukan secara ekslusif / diam-diam) pengurus kampus termasuk pimpinannya tidak mengetahui cara penanganannya. Sehingga tidak heran jika banyak sekali kampus di wilayah yang mula-mula sangat toleran, kini sebagian besar mahasiswanya telah menjadi radikal.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh LP3M Universitas Jember beberapa waktu lalu yang mengemukakan bahwa dari hasil penelitian internal didapat bahwa sekitar 22 mahasiswa dari seluruh mahasiswa di Universitas negeri Jember terpapar radikalisme. Padahal wilayah itu sebagian besar semula banyak dihuni oleh kaum Islam yang sangat toleran terhadap agama dan keyakinan lain.

Ini terjadi juga di banyak pesantren dan sekolah menengah sampai PAUD. Kita bisa lihat bahwa soal-soal ujian untuk sekolah dasar pun diselipi oleh ajaran intoleransi.

Ukuran dalam menentukan zona merah adalah beberapa kasus terorisme baik pelaku maupun korban berasal dari provinsi itu. Jika ukuran itu diperluas, yakni berupa sikap, paham, atau keyakinan yang sempit, intoleransi, penggusuran rumah ibadah agama lain, perda syariah, dan sikap eksklusifisme dan sektarianisme yang mencuat belakangan ini --niscaya wilayah Indonesia yang masuk Zona merah radikalisme lebih dari itu. Begitu juga untuk soal institusi pendidikan.

Karena itu berbenah soal ini; meluruskan presepsi dan mindset yang mungkin keliru. Kita harus mencoba membangun kepercayaan bahwa hal-hal yang berbau takviri dan jihadis untuk agama segera diakhiri di bumi Indonesia, karena bangsa ini memang lahir dari keberagamanan yang dahsyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun