Apakah manusia bisa berubah? Ataukah beberapa kesalahan, seperti selingkuh, adalah tanda karakter yang sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki?
Dalam ruang-ruang gelap percakapan sehari-hari, terutama di warung kopi, grup WhatsApp, atau bahkan curhat sore bersama sahabat, kata "selingkuh" seringkali muncul sebagai topik panas. Ada yang membicarakannya sambil tertawa geli, ada yang dengan marah dan air mata, dan ada juga yang membahasnya dengan filosofi rumit seakan-akan sedang membedah tabiat manusia.
Fenomena selingkuh bukan hal baru dalam dunia sosial budaya. Ia sudah menjadi bagian dari kisah manusia sejak zaman kuno: dari drama pewayangan, cerita sinetron, hingga postingan viral di TikTok. Namun pertanyaan besarnya adalah: apakah selingkuh itu sebuah kesalahan sesaat, sebuah kebiasaan yang dibentuk oleh lingkungan, atau bahkan pilihan sadar yang masih bisa diubah dan diperbaiki?
Budaya yang Membentuk Toleransi Terhadap Perselingkuhan
Di beberapa lingkungan, terutama dalam budaya patriarki, selingkuh pria kadang dianggap "lumrah." Istilah seperti "lelaki itu nggak jauh dari godaan" atau "asal tetap pulang ke rumah" mencerminkan bagaimana sebagian masyarakat memberi ruang (atau setidaknya menutup mata) terhadap perilaku ini.
Namun jangan salah, perempuan pun tidak sedikit yang menjadi pelaku. Di era digital seperti sekarang, kesempatan selingkuh terbuka lebar untuk siapa saja. Lewat aplikasi chat, media sosial, atau bahkan game online, hubungan gelap bisa tumbuh dari sekadar "teman curhat."
Selingkuh: Kebiasaan atau Kecelakaan?
Sebagian orang berkata: "Aku khilaf." Tapi apa benar selingkuh hanya soal khilaf? Jika terjadi berulang, itu bukan lagi kecelakaan. Itu bisa jadi kebiasaan. Dan seperti semua kebiasaan buruk, sebenarnya bisa diubah jika pelakunya benar-benar ingin berubah.
Namun di sinilah letak tantangan terbesar: kejujuran pada diri sendiri. Banyak orang selingkuh tidak mau mengakui kesalahannya sepenuhnya. Mereka menyalahkan pasangan: "Aku selingkuh karena dia sudah nggak perhatian." Padahal, dalam hubungan yang sehat, komunikasi adalah solusi, bukan pengkhianatan.
Ketika Maaf Diberi, Apa Bisa Diperbaiki?
Masih banyak pasangan yang memilih untuk bertahan setelah diselingkuhi. Alasan mereka beragam: anak, cinta, ekonomi, bahkan karena tak ingin memulai dari awal. Tapi pertanyaannya: apakah selingkuh bisa dimaafkan? Dan lebih penting lagi, bisakah kepercayaan dibangun kembali?
Dalam budaya kita yang menjunjung tinggi "kesabaran" dan "pengorbanan," sering kali korban perselingkuhan justru dianggap kurang bijak jika memilih pergi. Namun di sisi lain, memberi kesempatan kedua bukan berarti membiarkan diri disakiti terus-menerus.
Sebuah kesalahan bisa diperbaiki, tapi itu butuh komitmen, transparansi, dan proses panjang yang menyakitkan. Tidak cukup hanya dengan berkata "aku janji tidak mengulanginya." Perubahan harus terlihat dan dirasakan.
Mengubah Perspektif: Edukasi Emosional dan Budaya Setia
Mungkin sudah saatnya kita sebagai masyarakat berhenti menormalkan selingkuh. Kita perlu lebih terbuka membicarakan kesehatan hubungan, komunikasi yang jujur, dan pentingnya setia bukan sebagai tuntutan satu pihak, tapi sebagai pilihan sadar dua insan dewasa.