Dalam sebuah republik yang dilanda "fobia" terhadap segala hal, dari ulat bulu hingga transparansi, RUU Perampasan Aset muncul sebagai salah satu ujian untuk menguji kinerja pemerintahan. Seperti ulat bulu yang dianggap mengerikan padahal akan menjadi kupu-kupu yang indah, RUU ini justru ditakuti oleh para koruptor yang selama ini bebas bermetamorfosis dari ulat rakus menjadi kupu-kupu bermoral palsu.
Kasus pagar laut ilegal di Banten menjadi bukti nyata bahwa hukum Indonesia terjebak dalam "sandiwara" penyelidikan yang aneh. Penyelidikannya aneh karena TNI AL, Polri, dan kementerian yang berhubungan dengan ini saling lempar tanggung jawab. Hal ini sama persis seperti yang dikhawatirkan akan terjadi pada implementasi RUU Perampasan Aset. Pada tahun 2025 ini, banyak orang-orang tinggi yang pro rakyat sangat setuju dengan RUU Perampasan Aset, sedangkan para anggota DPR tidak pernah sama sekali mengusik RUU Perampasan Aset ini. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) pertama kali disusun pada 2008. Namun, hingga 2025, tidak ada tindaklanjut dari RUU ini. Ketidakjelasan ini bukan kebetulan, melainkan strategi untuk melindungi kepentingan para elite yang takut tidak bisa melakukan korupsi lagi.
Seperti ulat bulu yang dianggap mengerikan padahal akan menjadi kupu-kupu yang indah, RUU ini justru ditakuti oleh para koruptor yang selama ini bebas bermetamorfosis dari ulat rakus menjadi kupu-kupu bermoral palsu.
Lebih mendasar lagi, artikel "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" oleh Budiman Tanuredjo mengingatkan kita bahwa akar masalahnya terletak pada krisis moral para pejabat. Anggota DPR yang dengan mudah melupakan sumpah jabatan mereka. “... Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia...”
LAFAL sumpah itu diucapkan anggota DPR saat dilantik sebagai anggota DPR.
Mereka dilantik 1 Oktober 2019. Kini sumpah itu secara tidak langsung diuji melalui RUU Perampasan Aset. Apakah mereka akan konsisten dengan sumpah "mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi", atau justru membiarkan RUU ini mandek karena takut alat hukum ini akan berbalik mengancam mereka sendiri dalam bertindak korupsi?
Ketidakjelasan ini bukan kebetulan, melainkan strategi untuk melindungi kepentingan para elite yang takut tidak bisa melakukan korupsi lagi.
Fobia massal terhadap reformasi tampaknya menjadi penyakit nasional yang menghinggapi elite politik. Mereka takut pada ulat bulu yang tidak berbahaya, takut pada penyelidikan yang transparan, dan paling takut pada alat hukum yang dapat mengganggu kepentingan pribadi mereka. RUU Perampasan Aset menjadi semacam "cermin" yang memantulkan ketakutan terbesar mereka: kehilangan hak istimewa untuk mengorupsi dengan aman.
Sastrawan F. Rahardi dalam artikelnya yang berjudul “Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu” menuliskan, "fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita". Fobia elite terhadap transparansi dan akuntabilitas telah merugikan seluruh bangsa selama puluhan tahun. Sekarang, sudah saatnya untuk mengakhiri fobia ini dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai 'skakmat' untuk para koruptor di Indonesia.
Apakah mereka akan konsisten dengan sumpah "mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi", atau justru membiarkan RUU ini mandek karena takut alat hukum ini akan berbalik mengancam mereka sendiri dalam bertindak korupsi?