Mohon tunggu...
Langit Pemikiran
Langit Pemikiran Mohon Tunggu... Pemikir, Penulis

Peliharalah kebiasaan untuk tidak sekadar melihat permukaan, tetapi menggali lebih dalam tentang kehidupan, manusia, dan struktur sosial yang membentuk dunia, serta cobalah untuk memulai menyuarakan kegelisahan, keadilan, dan makna yang sering terabaikan dalam hiruk-pikuk dunia modern.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dominasi Mayoritas dan Represi Identitas : Wajah Paradoksal Keberagaman di Ruang Publik

29 Juni 2025   07:12 Diperbarui: 29 Juni 2025   07:12 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tolak Segala Bentuk Intoleransi Di Indonesia

Perusakan rumah ibadah dan pembubaran kegiatan keagamaan yang sah merupakan gejala dari ketegangan struktural antara dominasi mayoritas dan hak-hak keberagamaan minoritas. Dalam masyarakat yang secara formal menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama, tindakan-tindakan represif semacam ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara norma konstitusional dengan praktik sosial dan hukum di tingkat akar rumput. Sosiologi melihat fenomena ini sebagai bentuk klasik dari dinamika hegemoni kultural, di mana kelompok mayoritas bukan sekadar mendominasi jumlah, tetapi juga mengontrol narasi kebenaran, moralitas, dan legitimasi ruang publik. Hal ini memperlihatkan apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai "dominasi ideologis" yang menjadikan nilai-nilai mayoritas sebagai standar normatif yang menekan ekspresi keberagamaan lainnya.

Dalam kerangka hukum, konstitusi menjamin kebebasan beragama, namun produk hukum turunan seperti SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah kerap menjadi alat legal untuk membatasi hak-hak minoritas secara terselubung. Alih-alih menjadi pelindung keadilan, hukum dalam kasus ini justru tunduk pada tekanan mayoritarianisme dan kehilangan independensinya. Fenomena ini menunjukkan kegagalan sistem hukum dalam mempertahankan prinsip rule of law, yang seharusnya netral terhadap semua ekspresi keyakinan.

Filsafat politik menyoroti dominasi ini sebagai ekspresi kekuasaan atas ruang makna. Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja secara koersif, tetapi juga melalui produksi wacana yang menentukan mana yang dianggap "sah" dan "benar". Dalam konteks ini, rumah ibadah minoritas seringkali tidak hanya dilihat sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ancaman simbolik terhadap kuasa mayoritas atas lanskap sosial dan spiritual masyarakat. Intoleransi pun bukan hanya soal keyakinan, melainkan juga persoalan siapa yang berhak menempati ruang sosial dengan identitasnya.

Sementara itu, dari sudut pandang agama itu sendiri, fenomena ini mencerminkan paradoks mendasar: agama-agama besar dunia mengajarkan cinta kasih, penghormatan terhadap sesama, dan perdamaian; namun dalam praktiknya, tafsir keagamaan kerap disusupi oleh ambisi politik identitas. Dalam banyak kasus, agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas, melainkan berubah menjadi justifikasi moral atas eksklusi sosial terhadap "yang lain". Ini adalah bentuk distorsi spiritual yang mengkhianati esensi transendental agama itu sendiri.

Dengan demikian, perusakan rumah ibadah bukan sekadar peristiwa hukum atau sosial. Ia adalah manifestasi dari represi struktural terhadap eksistensi pihak lain yang dipandang tidak sesuai dengan konstruksi kebenaran mayoritas. Penanggulangannya memerlukan dekonstruksi dominasi simbolik ini melalui pendidikan lintas iman, reformasi hukum yang menjamin keadilan substantif, serta pembebasan agama dari belenggu eksklusivisme identitas. Tanpa itu, ruang publik akan terus menjadi arena eksklusi, bukan inklusi; kekerasan simbolik akan terus mengintai dalam selubung legitimasi sosial dan religius.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun