Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Idulfitri Versi Lebaran Menuju versi Al-Quran, Mengesankan!

24 Mei 2020   07:46 Diperbarui: 24 Mei 2020   10:28 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan Idulfitri Berkesan

Awalnya aku mengalami perayaan Idulfitri versi Lebaran, begitu mengesankan. Seperti melihat permukaan lautan yang biru, bergelombang dan   di atasnya mengapung perahu paling mewah. Walau akhirnya kusadari ternyata itu cuma seperti perahu kertas. Lho, kok?.

Kesadaran dari Idulfitri versi Lebaran, menuju Idulfitri versi Al-Quran  yang justru sungguh berkesan.

Seperti analogi di atas,  kurasakan perayaan Idulfitri versi lebaran hanya  terlihat bersuka cita  tapi faktanya kekalutan dimana-mana. Mengapa bisa?. Semuanya disebabkan kesalahpahaman dari pengertian kata "Id". Karena dalam bahasa dan budaya Arab diartikan "pesta", selain berarti "kembali".

Dalam konteks pesta itulah, kata "alfithru atau fitri"   dianggap sama dengan "al-futhr"  yang artinya , dalam budaya Arab, sama dengan "sarapan" alias makan pertama di pagi hari. 

Karena itu, tidak heran kalau dulu aku mengartikan Idulfitri sebagai Hari Raya Berbuka alias kembali makan, usai sebulan puasa Ramadan.

Konyolnya diriku dahulu, menyelenggarakan acara pesta dengan bersuka-ria, sambil bakar-bakar petasan karena senang telah dibebaskan untuk kembali makan. He he, autokritik.

Maka pada Hari Raya Idulfitri seperti itu makanan dan minuman melimpah ruah, sampai banyak yang terbuang.

Bahkan silaturrahmi pun dilakukan dengan cara saling tukar dan kirim-kiriman makanan. Kemudian, masuknya budaya Barat, kirim-kiriman makanan yang dulu hanya dilakukan dengan rantang dan keranjang sederhana, diubah ke dalam bentuk parcel.

Meski hal itu  kadang hanya berlaku di kalangan menengah ke atas, dan tujuannya kadang melenceng menjadi semacam cara untuk "menjilat" atau "menyuap" dan sebagainya."

Itulah kenapa KPK dulu menyoroti pengiriman parsel dari pengusaha ke pejabat yang konon harga parcel yang dikirim mencapai belasan juta rupiah.

Tidak mengherankan   akibat dari pemahaman Idulfitri versi lebaran yang hura-hura itu, kurasakan perekonomian menjadi inflasi Karena "deficit spending" alias kalap belanja.

Bahkan mereka yang sejak semula menjadi orang pinggiran yang nakal, tak mau ketinggalan untuk berpesta, walau dengan mencopet dan atau membegal bagi yang nekat. Sedangkan bagi yang lemah dan nakal, demi lebaran jadi rajin mengemis, mengamen, dan sebagainya. Korbannya tentu yang dhuafa walau beriman. 

Idulfitri versi lebaran pun dimanfaatkan  oleh para pedagang nakal, sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.

Yang nakal menimbun barang dan menaikkan harga. Termasuk perusahaan (yang hakikatnya) milik Negara tidak jarang ikut-ikutan menaikkan tarif.

Peran pemerintah yang diharapkan menjadi pelindung dan pembela rakyat kecil tidak membiarkan kaum dhuafa diterkam dan dilindas korporasi.

Sayangnya kaum rohaniawan yang membiarkan saja dijadikan korporasi untuk legitimasi  di televisi yang penuh dengan iklan-iklan komersil.

Mayoritas bangsa ini, termasuk diriku dahulu memang selalu merindukan Idulfitri sebagai sebuah pesta tahunan, saat mereka bisa merasakan kenikmatan makan, minum, pakaian baru, dan berpelisiran. Seperti diriku yang dulu dalam YouTube di bawah ini


Sedangkan di sisi lain, hasrat berpesta itu justru membuka peluang bagi para renten/ spekulan yang tidak berperikemanusiaan.

Akhirnta kujadikan Idulfitri sebagai momentum  dari lebaran menjadi kembali hidup menurut Fitrah Allah (Islam) 

Ya, indahnya Islam yang saat ini masih bagaikan berada di dasar lautan. Belum dominan di permukaan. Karena Islam melarang sikap hura-hura. Kalaulah ada pesta yang dihalalkan dalam Islam, hanyalah pesta kepedulian golongan the have terhadap kalangan bawah.

Dalam  Idulfitri versi Al-Quran, terutama melalui zakat fithrah, merupakan pesta kepedulian dengan cara berbagi bahan makanan pokok. 

Sebagaimana Indahnya gambaran hadits Rasulullah yang menegaskan: "Pada hari itu (Idulfitri) jangan sampai ada orang miskin yang tidak makan!". Hal ini pernah kualami di kampung halamanku. Semua orang miskin dan ayat Yatim dijamin oleh masjid kami.

Tapi, sekali lagi, itu pun masih bersifat simbol. Ya, Idulfitri  pada satu sisi  adalah simbol pemerataan  ekonomi.

Bila pada hari-H Idul-fitri  tidak boleh ada orang yang kelaparan, begitu juga pada hari-hari berikutnya tidak  membiarkan adanya kelaparan, akhirnya kini jadi kenyataan khususnya di kampungku.

Sebelumnya gambaran Idulfitri itu versi Lebaran, seiring dengan berakhirnya Ramadan, kuhamburkanlah segala daya dan upaya untuk menyongsongnya dengan berbagai pemborosan. konon demi mencapai kesucian sebagaimana bayi yang baru lahir.

Saatku remaja lebaran kurasakan hanya momentum untuk pura-pura bahagia, pura-pura dapat kemenangan, bahkan pura-pura mengaku punya salah dan saling minta dan atau memberi maaf. Meski tidak tahu persis letak kesalahannya di mana, sehingga tidak dapat merobahnya atau tidak ada perubahan setelahnya.

Menuju Idulfitri Versi Al-Quran

Istilah  "Fitri" beradal dari kata "Fathara" dalam QS Rum:30 artinya "Din" atau regulasi, yaitu Dinul Islam.

Jadi Idulfitri adalah Kembali mengurus hidup menurut ajaran Allah yakni Dinul Islam. Kembali disini bukan berarti mudik ya?. Tapi lebih khusus lagi adalah Kembali hidup menurut Zakat satu pembinaan Perekonomian Islam.

Kala kuhubungkan dengan Ramadan, setelah sebulan kita menggapai Rahmat, Maghfirah serta Itqun Minannar, dimana selama Ramadan berupaya Tadarrus (mempelajari al-Quran), memperdalam pemahaman visi dan missi Islam, yang tercantum dalam Al-Quran. Maka usai Ramadan,   bisa 'Idulfitri secara hakiki yaitu: Kembali hidup menurut Ajaran Allah/Dinul Islam semurni-murninya dengan konsisten.

Sekarang aku tidak lagi melakukan pemborosan, pamer pakaian dan makanan yang cenderung komsumtif, bagiku itu taubat yang sangat mengesankan. 

Jadi indikasi keberhasilan Shaum dapat dilihat dari perilaku setelahnya. Jika Shaum gagal merubah alam pikiran dan sikap hidup orang yang mengaku mukmin, maka tradisi Fatamorgana seperti itu akan terus terjadi setiap Lebaran, jika tak mempelajari Al-Quran.

Idulfitri yang merupakan penutup Ramadan juga sebagai pintu gerbang bagi  perayaan nilai-nilai Qurani. Yang mengesankan, perayaan itu dimulai dengan pembagian "Zakat Fitrah" secara simbolik menuju realisasi pengentasan  kemiskinan dan kelaparan.

Menariknya, Idulfitri versi Al-Quran dengan Zakat fithrahnya bukanlah sebatas mendermakan tiga liter beras atau 2,5 kg sekali setahun, melainkan untuk mengawali bentuk kepedulian terhadap sesama yang berkesinambungan dan tersistem.

Kesan menarik lainnya, menurut kamus, kata "Zakat" dengan segala variasi bentuk katanya, mempunyai beberapa pengertian

Bila dikaitkan dengan bumi, maka zakat berarti "subur", Bila terkait tanaman, maka zakat berarti "tumbuh" dan berkembang. Bila dihubungkan dengan manusia, maka zakat berarti shalih, baik, pantas, dan layak. Juga berarti bersih, suci; murni dan benar.

Bila dikaitkan dengan ekonomi menjadi membangun sistem Ekonomi subur (makmur). Ekonomi tumbuh dan berkembang. Ekonomi shalih/baik/pantas/layak.

Tujuannya membentuk ekonom-ekonom yang shalih, yang mampu membangun kehidupan yang baik, pantas, dan layak bagi masyarakat.

Dengan  tujuan membangun kehidupan ekonomi yang bersih dari segala motivasi buruk, berharap murni menjalankan sistem yang benar sesuai ajaran Allah saja."

Sistem Ekonomi Zakat, kebalikan dari Sistem Ekonomi Riba.

Sistem ekonomi "Riba" adalah melipatgandakan uang demi kepentingan pemilik uang (modal) itu sendiri (kapitalisme). Sedangkan sistem ekonomi Zakat, pemilik uang (modal) malah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian masyarakat, supaya kekayaan yang  kita miliki bisa mengalirkan manfaat demi pertumbuhan dan perkembangan bersama yang Allah Ridai.

Allah  telah mengingatkan bahwa  semesta jagad raya ini terwujud sebagai hasil desain dari Allah, dan manusia diciptakan sebagai makhluk budaya, teristimewa untuk menggelar  konsep-Nya.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran antara lain Surat Al-Qamar ayat 49 dan Surat Al-Anbiya ayat 104."

Jadi dibalik  makna 'pesta' nya, Idulfitri sebenarnya mengandung nilai ajaran (filosofi) mendalam bagi manusia agar manusia menyadari terhadap nilai-nilai Qurani untuk kesejahteraan umat sesuai Islam.

Dengan kata lain, di sini, istilah al-fithru/al-fithratu terikat dalam konteks Islam/Al-Qurn.

Al-Quran memuat sedikitnya 19 ayat berisi variasi kata fathara. Antara lain di Surat Ar-Rum ayat 30.

Hal yang berkesan bagiku kata "fithrah", lengkapnya adalah "fithratallah" hanya termuat dalam Surat 30:30.

Itu menjadi petunjuk bahwasanya  makna istilah  'al-fithrah', termasuk Idulfithri itu terikat oleh konteks ayat ini.

Dan yang menarik lainnya, dalam ayat ini istilah 'fithratallah' selain berarti: ciptaan Allah, juga mengacu pada pengertian 'dnul-qayyim' ('regulasi' yang membangkitkan), yaitu Islam, yang diciptakan memiliki kecocokan dengan sifat alami (fithrah) manusia itu sendiri.

Dengan kata lain, manusia dan  Islam adalah pasangan alami menurut  Allah."

Artinya:

" Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,"

(QS. Ar-Rum: Ayat 30).

Aku lebih suka dengan terjemahan ini:

Arahkanlah wajah kehidupanmu mengikuti Islam semantap-mantapnya. (Inilah) fithrah (konsepsi) Allah yang dibuatNya cocok dengan fithrah (konsep penciptaan) manusia. Tak ada tandingan bagi ciptaan (konsepsi) Allah ini. Inilah regulasi yang sangat kokoh. Tapi (sayang) kebanyakan manusia tidak tahu (karena tak mau tahu!).

Ayat ini menegaskan bahwa manusia dan (konsepsi) Islam adalah sama-sama ciptaan Allah Diharapkan manusia diciptakan mau sebagai pelaku hidup menurut Islam.

Karena itu jangan heran bila dalam Surat Ali 'Imran: 19 ditegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya 'Aturan' Allah.

Dan dalam ayat 85 di surat yang sama juga ditandaskan bahwa para pencari 'aturan' selain Islam bakal gagal mewujudkan harapan."

Surat ke-35 Al-Quran diberi nama Fthir (pencipta). Ternyata (sebutan) ini ditujukan kepada Allah. Hal yang sangat mengesankan adalah pada ayat ke-3 dari surat tetsebut terdapat sinonim dari  "fthir" yaitu "khliq".

Dan  sinonim "fithratallah" yaitu "khalqillah". Artinya bahwa Allah, Sang Maha Pencipta itu adalah pencipta semesta alam termasuk manusia serta Islam.

Dalam konteks itulah Rasulullah menegaskan bahwa:

Setiap bayi dilahirkan 'alal-fithrah (berdasar konsepsi/rencana Allah), yakni untuk menjadi pelaku Al-Fithrah,  Al-Islam. 

Sampai kemudian, setelah ia pandai berbicara, maka kedua orangtuanya (atau lingkungannya) yang menjadikannya (berbudaya) Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR Al-Bukhari)."

Sabda Rasulullah itu sebagai indikasi nyata bahwa dakwah para rasul (dari Adam sampai Muhammad saw) pada dasarnya merupakan ajakan agar manusia yang terlahir (biologis), hendaknya sudi berusaha menelusuri latar belakang kehadirannya. Harapannya, terlahir nilai-nilai Al-Quran dalam perilakunya. Menjadi pakaian baru untuk menutup aibnya.

Manakala ajakan itu disambut dengan sebaik-baiknya, maka di situlah  ditemukan hakekat dari Idulfitri, yaitu Perjalanan/proses rujuk diri manusia kepada belahan jiwanya, yaitu Al-Fitrah alias Al-Islam.

Bila hal itu terjadi, maka kepadanya layak diucapkan salaamun atau selamat hidup dengan Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun