PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hak tiap individu di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Kemudian hak untuk mendapatkan pendidikan tersebut dijelaskan dalam Pasal 31 ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai" dan pada ayat 3 yang berbunyi "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang" (Meritasari dkk, 2024).
Karena undang-undang tersebut, pemerintah mengupayakan pendidikan dengan berbagai macam cara. Salah satu yang diusahakan oleh pemerintah yakni pemerataan pendidikan, mengingat adanya ketimpangan penyediaan jasa pendidikan di Indonesia dan terdapat anak-anak yang tidak bersekolah. Masalah ekonomi juga jadi faktor yang memunculkan ketimpangan pendidikan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengupayakan untuk mengurangi ketimpangan pendidikan dengan program zonasi (Safarah dan Wibowo, 2018).
Program zonasi adalah inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan serta mewujudkan pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Melalui program ini, siswa diberikan hak yang sama untuk mengenyam pendidikan tanpa adanya diskriminasi berdasarkan lokasi atau status sosial. Setiap siswa berhak memperoleh kesempatan bersekolah di lingkungan tempat tinggalnya. Mengacu pada Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, sekolah negeri diwajibkan menerima setidaknya 90% peserta didik dari wilayah terdekat berdasarkan jarak domisili ke sekolah (Widyastuti, 2020).
Kebijakan zonasi yang dicanangkan oleh pemerintah pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi ketidakmerataan akses pendidikan serta meredam anggapan adanya "sekolah favorit" yang selama ini menimbulkan kesenjangan. Pada dasarnya, sistem ini mengatur agar siswa bersekolah di institusi pendidikan yang berada dekat dengan domisili mereka. Dengan demikian, setiap siswa memiliki peluang yang setara untuk memperoleh pendidikan tanpa harus berkompetisi dengan calon peserta didik dari luar wilayahnya. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mengikis permasalahan yang timbul akibat pandangan bahwa sekolah unggulan memiliki kualitas lebih tinggi dibanding sekolah lain yang kurang diminati (Widyastuti, 2020).
Dalam implementasinya, pelaksanaan kebijakan zonasi masih menghadapi berbagai kendala dan belum sepenuhnya berjalan secara adil, terutama bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki predikat sebagai sekolah favorit atau unggulan. Contohnya dapat dilihat di SMPN 3 Mataram, di mana kebijakan ini menyebabkan penurunan jumlah pendaftar. Hal ini disebabkan oleh sistem penentuan zona yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga membatasi pilihan siswa untuk mendaftar di sekolah di luar wilayah zonanya. Akibatnya, siswa yang berdomisili dalam suatu zona secara otomatis terdaftar di sekolah yang berada di wilayah tersebut, meskipun mungkin mereka memiliki preferensi untuk melanjutkan pendidikan di sekolah lain yang berada di luar zona tempat tinggalnya (Pertiwi dkk, 2024).
Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan, penulis menemukan bahwa terdapat masalah dari pelaksanaan sistem zonasi. Apakah relevan bagi pemerintah untuk tetap melanjutkan sistem zonasi di bidang pendidikan? Sehingga penulis tertarik untuk membahas mengenai sistem zonasi di bidang pendidikan sudah mencapai tujuan atau belum, tetap relevan atau tidak bagi masyarakat Indonesia atau justru tidak perlu dilanjutkan programnya.Â
PEMBAHASAN
Sistem zonasi pada implementasinya menghasilkan dampak baik positif dan negatif. Tujuan awal dari sistem zonasi yakni pemerataan pendidikan yang mana dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor penawaran dan faktor permintaan. Penawaran berada di tangan pemerintah sebagai otoritas publik yang menyediakan pendidikan. Sementara permintaan datang dari masyarakat yang merupakan pengguna layanan pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai pemerataan pendidikan diperlukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan (Cummings, 2008).Â
Pemerintah pusat telah mengumumkan pembaruan regulasi terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi, yang awalnya tertuang dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, kemudian disempurnakan melalui Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Peraturan ini mencakup ketentuan PPDB untuk jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Kejuruan. Namun, perlu menjadi catatan penting bahwa situasi berubah seiring munculnya pandemi Covid-19. Menanggapi kondisi darurat tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan kebijakan pendidikan selama masa darurat penyebaran Covid-19 (Werdiningsih, 2020).