BUT dalam OECD Model
OECD Model menekankan konsep fixed place of business atau tempat usaha tetap. Contohnya adalah kantor, pabrik, gudang, atau proyek konstruksi dengan durasi lebih dari 12 bulan. OECD Model tidak mengakui jasa sebagai BUT apabila dilakukan tanpa kantor tetap. Fokus OECD adalah menciptakan kepastian hukum dan menghindari pajak berganda. Namun, pendekatan ini sering dianggap bias karena lebih melindungi kepentingan negara maju sebagai domisili perusahaan multinasional.
BUT dalam UN Model
Berbeda dengan OECD, UN Model memberikan ruang yang lebih luas bagi negara sumber untuk menarik pajak. UN Model mengenal konsep service permanent establishment, yaitu jasa yang berlangsung lebih dari 183 hari dapat dikategorikan sebagai BUT. Selain itu, proyek konstruksi dengan durasi lebih dari enam bulan juga termasuk BUT. Dengan demikian, UN Model memberikan hak yang lebih besar bagi negara sumber seperti Indonesia dalam memungut pajak atas laba yang dihasilkan di wilayahnya.
Perbandingan Kritis
Jika dibandingkan, PMK 35/2019 lebih dekat dengan UN Model daripada OECD Model. PMK mengatur bahwa proyek konstruksi lebih dari 183 hari akan membentuk BUT. OECD menetapkan batas 12 bulan, sementara UN hanya enam bulan. Dengan demikian, PMK mencoba menyeimbangkan antara standar internasional dan kepentingan nasional.
Kasus Ilustratif
Kasus konstruksi asing menunjukkan relevansi aturan ini. Perusahaan XYZ Ltd. menjalankan proyek delapan bulan senilai Rp 100.000.000.000,- di Indonesia. Menurut OECD, perusahaan tersebut tidak termasuk BUT sehingga Indonesia tidak berhak memungut pajak. Namun, menurut UN Model dan PMK 35/2019, perusahaan dianggap BUT dan wajib membayar pajak sebesar 22 % dari laba Rp 30.000.000.000,- Â yaitu Rp 6.600.000.000,-.