Mohon tunggu...
Ernesta Venesia
Ernesta Venesia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta dengan jurusan Ilmu Komunikasi. Sebelumnya saya menempuh pendidikan di salah satu sekolah negeri di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Melalui platform ini saya ingin membagikan berbagai sudut pandang saya tentang dunia, tentang Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sudut Pandang Pejalan Kaki : Mata Penuh Harap di Atas Trotoar.

7 Oktober 2025   00:31 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:31 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kalian jalan sendirian di tengah ramainya Ibu Kota?

Mungkin kebiasaan "berjalan" di Kota Jakarta merupakan hal yang cukup lumrah dibanding dengan kota-kota lainnya.

Namun, ada satu hal mendalam yang membuat saya semakin yakin untuk mengubah negeri ini, Indonesia.

Berjalan dengan uang Rp 10.000 yang menjadi uang cash terakhir saya  .

Di tengah dinginnya malam Jakarta, disaat saya membayangkan nyamannya kasur dan hangatnya selimut, disitulah mata saya tertuju pada empat mata yang menatap saya dengan harap.

Ini sudah pukul 22.45 dan dagangan mereka masih penuh.

Saya berlalu begitu saja, dan pada langkah ketiga, saya kembali kepada salah satu pedagang tersebut.

Donat dengan harga Rp 8.000 saya beli dan saya bawa pulang.

Saya merasa bersalah sepanjang perjalanan, karena tidak dapat membeli semprong milik pedagang lain. Saya menyesal tidak lebih hemat sebelumnya sehingga saya bisa membeli dagangan beliau.

Melalui peristiwa ini saya menyadari suatu hal, kesenjangan ekonomi.

Apakah kita sadar akan kesenjangan-kesenjangan ekonomi yang setiap tahun, bahkan setiap harinya semakin terlihat?

Kapan kita akan berhenti sejenak?

Melihat kerasnya dunia di atas trotoar pejalan kaki, disuguhi dengan manusia-manusia yang memperjuangan hidupnya berjualan dari pagi hingga malam hanya untuk seteguk air dan sesuap nasi.

Semua yang kita lihat sepintas melalui kaca helm, kaca spion mobil ternyata memiliki makna yang lebih, jika kita mau menoleh dan peduli.

Hal lain yang saya sadari adalah, mereka berjualan hal-hal atau makanan yang dapat kita temukan melalui platform online.

Saya bertanya-tanya.

Apa mungkin mereka hanya mampu berjualan hal-hal tersebut karena terbatasnya modal dan pengetahuan tentang bisnis?

Apa mungkin mereka tak akan selelah itu jika melek akan dunia dan perkembangan zaman?

berjualan hal-hal yang dapat kita temukan dengan mudah melalui platform online.

Saya bertanya-tanya.

Sebenarnya tanggung jawab siapakah mereka?

Saya? Anda? Diri mereka sendiri?

Berjalan di jalan dengan kecuekan dan keangkuhan tanpa memandang mereka yang melihat kita sebagai harapan.

Bukan, mereka bukan tanggung jawab Saya, atau Anda.

Namun, sanggupkah kita berhenti sejenak dan memberikan apa yang kita miliki walau hanya sepersen rupiah?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun