Kesadaran Reflektif dan Nonreflektif
Jean Paul Sartre juga menegaskan bahwa dalam diri manusia ada yang disebut kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif. Kesadaran reflektif mengacu pada kesadaran subjek akan eksistensinya. Sebaliknya, kesadaran nonreflektif mengacu pada kesadaran subjek akan objek atau subjek lain di luar dirinya yang kemudian berimbas pada kesadaran tentang dirinya. Lebih lanjut Sartre menjelaskan bahwa kesadaran dalam individu selalu dikotomis. Antara kesadaran reflektif dan nonreflektif tidak pernah bisa digabung secara harmonis.
Menurut Sartre, kedua kesadaran tersebut selalu saling “mengenyahkan”.
Konsep dikotomi kesadaran yang diusung Sartre merupakan konsekuensi langsung dari pemahamannya tentang etre en soi dan etre pour soi. Kedua dikotomi terakhir ini merujuk pada dikotomi ada konkret, yakni yang berkesadaran (manusia) dan yang tak berkesadaran (meja, kursi, mobil dst). Kedua dikotomi ini berimplikasi pada ada yang berkesadaran, yakni manusia. Manusia sebagai subjek rasional yang otonom berhadapan dengan realitas dirinya dan realtas yang bukan dirinya. Berhadapan dengan dua realitas ini, maka adalah sebuah keniscayaan manusia menyadari keberadaan dirinya (kesadaran reflektif) dan pada saat yang sama menyadari pihak di luar dirinya, entah subjek rasional ataupun realtas tak berkesadaran, seperti meja, kursi, mobil, kayu dst.
Otentisitas dan Mauvaise Foi
Istilah Mauvaise Foi digunakan Sartre untuk menjelaskan keyakinan buruk yang dimiliki oleh subjek rasional. Menurut Sartre, yang dimaksudkan dengan keyakinan buruk ialah ketika manusia tidak hidup dalam kebebasan. Situasi tidak bebas digambarkan melalui pengalaman hidup yang melulu dituntun oleh aturan yang dibuat oleh Tuhan. Dalam eksistensialisme, pengekangan hidup subjek terjadi ketika ia tidak menggunakan kebebasannya untuk menentukan serta menyusun tujuan hidupnya.
Bagi Sartre, setiap orang yang hidup berdasarkan standar yang dibuat oleh “tuhan” melalui kitab suci adalah pribadi-pribadi yang tidak bebas. Sebaliknya, manusia yang memanfaatkan kebebasannya sebagai subjek berkesadaran menunjukkan otentisitas eksistensialnya.
Kebebasan dalam Sartre selalu ipandang sebagai identitas subjek yang otentik. Yang otentik adalah yang bebas. Otentisitas subjek berkesadaran dapat diukur melalui kebebasannya; Apakah hidupnya dikekang oleh aturan pihak lain atau oleh kehendak bebasnya sebagai pribadi. Tatkala subjek berkesadaran menjalani hidupnya dengan keputusan dan kehendak bebasnya, maka, pribadi tersebut adalah pribadi yang otentik.
Hidup yang otentik dengan demikian ialah hidup yang sepenuhnya ditentukan oleh keputusan dan pilihan bebas pribadi tanpa dideterminasi oleh pihak lain bahkan yang namanya “Tuhan’ sekalipun. Semakin seseorang bebas, semakin ia otentik. Manusia yang otentik adalah manusia yang menciptakan dirinya sendiri. Itulah yang disebut subjektivitas.
Other is Hell (Yang Lain Adalah Neraka)
Salah satu konsep sensasional yang diusung eksistensialisme Sartre ialah “Yang Lain Adalah Neraka”. Ide “kontroversial” ini berangkat dari konsep Sartre terkait subjek berkesadaran. Lantaran setiap subjek memiliki kesadaran, maka, disposisi setiap subjek melulu saling mengobjekkan satu sama lain. Melalui kesadaran nonreflektif, subjek yang satu dapat menilai subjek yang lain sesuai dengan kehendaknya. Dalam relasi yang demikian terjadi saling mengobjekkan. Atas dasar itu, Sartre selalu melihat pihak yang lain sebagai neraka bagi dirinya. Pengobjekkan selalu menyudutkan pihak yang diobjekkan. Pengobjekkan selalu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pihak yang diobjekkan. Atas dasar itu, dalam eksistensialisme Sartre, orang lain adalah neraka.
Untuk menjelaskan konsep ini, Sartre mengemukakan apa yang disebut sebagai “Alienasi Tatapan”. “Alienasi Tatapan” memaksudkan tatapan setiap subjek yang sebenarnya adalah sebuah pengobjekkan atas pihak yang ditatap. Menatap dalam Sartre melulu dilihat sebagai aktivitas mengobjekkan pihak lain. Tatkala subjek sedang menatap, maka subjek yang ditatap selalu berada pada pihak yang diobjekkan.