Mohon tunggu...
Varani Betty
Varani Betty Mohon Tunggu...

Pemerhati dunia anak dan berusaha belajar hal-hal baru melalui tulisan. ^___^

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Televisi

19 Februari 2013   13:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Males ah, nonton tivi."
Pernyataan tersebut pernah saya untarakan saat semua program televisi dijejali dengan infotainmen dan sinetron. Kenyataannya, dari Anda sarapan pagi hingga ingin memejamkan mata tak henti-hentinya stasiun-stasiun televisi swasta menawarkan kisah ramadhan yang masih berlanjut hingga ramadhan di tahun berikutnya dan juga gosip artis-artis.

Bukan berarti saya anti televisi. Saya bisa nyambung jika teman-teman membicarakan kasus Raffi Ahmad, ya  berkat televisi. Lalu, saya bisa tahu Menteri Keuangan RI dipanggil menjadi saksi di KPK, ya karena televisi. Lebih jauh lagi, saya tahu kalau ada lelucon yang dibuat dari kesengsaraan orang lain, itu ya dari televisi. Komplit kan?!
Memang, tidak semua program-program televisi hoax belaka. Ada juga yang bermutu, tapi persentasenya sangat rendah. Contohnya, ketika saya menonton salah satu stasiun televisi yang memproklamirkan bahwa stasiun tersebut adalah televisi keluarga, tapi yang ditonjolkan musik dangdut terus. Padahal keluarga itu kan teridiri dari ayah, ibu, dan anak. Mengapa isi acaranya untuk ayah da ibu? Acara anak-anak hanya seperenam porsi saja.

Fungsi televisi menjadi agak bergeser menurut saya. Di Indonesia, orang-orang menganggap bahwa televisi adalah kebutuhan primer mereka. Bahkan banyak orang yang menunda makan demi menonton acara televisi. Wah, sinetron-sinetron itu ternyata sudah menyihir para pemirsanya. Hebat ya..

Yang agak memprihatinkan lagi adalah acara komedi di negeri kita ini. Kebanyakan acara komedi menyajikan lelucon dengan kekerasan (menurut saya), baik fisik maupun mental. Topik-topik yang menyinggung SARA dijadikan lelucon yang menurut saya tidak pantas.  Contohnya, bahan ejekan yang umum adalah kulit hitam dan rambut keriting. Tokoh orang jelek selalu diidentikkan dengan kulit hitam dan rambut keriting. Halo? Ada apa dengan ciri fisik  tersebut? Negara barat yang dulu menganut politik apartheid (penggolongan berdasarkan ras dan warna kulit) saja bisa menghapukan perbedaan secara nyata. Semua orang di sana punya hak dan kewajiban yang sama di semua bidang. Mengapa di Indonesia yang katanya pluralitas dijunjung tinggi malah jadi mengkotak-kotakkan golongan? Gaya melucu yang 'lucu' itu nantinya akan mengakar dalam diri masyarakat kita. Seperti yang saya kemukakan tadi, televisi adalah media yang paling mudah diakses rakyat Indonesia. Jadi pengaruh televisi sangatlah besar bagi kehidupan rakyat Indonesia.

Hal lain yang membuat saya agak males menonton televisi Indonesia adalah pengemasan acara-acaranya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun