Mohon tunggu...
Vannya Putri Amalia
Vannya Putri Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi/Universitas Negeri Semarang

Hobi melakukan studi kualitatif terhadap perilaku Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kita Tuan Rumah atau Penonton di Negeri Sendiri?

17 Mei 2025   12:40 Diperbarui: 19 Mei 2025   10:52 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu, saya melakukan diskusi dengan kakak usai menyimak sebuah informasi tentang akuntabilitas sumber daya alam di Indonesia. Kakak saya mengulas terkait Freeport, perusahaan tambang raksasa yang beroperasi di Papua, dan bagaimana kompleksnya urusan kepemilikan antara pemerintah Indonesia dan investor asing. Di situlah saya sadar betapa pelik dan krusial isu kepemilikan asing di sektor strategis nasional. Sebagai mahasiswa, saya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan negara. Namun, saya merasa perlu untuk mengungkapkan pandangan mengenai fenomena yang saat ini terjadi di Indonesia terkait kepemilikan asing di sektor strategis, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam. Fenomena ini menimbulkan ketimpangan yang cukup tajam antara kekayaan yang dimiliki oleh pihak asing dan kemiskinan yang semakin meluas di kalangan rakyat Indonesia. Freeport bukan perusahaan kecil di balik namanya, tersimpan salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, yakni Tambang Grasberg di Papua. Namun selama puluhan tahun, kita bangsa Indonesia seakan hanya jadi penonton. Freeport McMoRan, perusahaan asal Amerika Serikat, begitu dominan dalam pengelolaan dan pengambilan hasil dari perut bumi kita sendiri. Apa yang membuat saya prihatin bukan hanya tentang kepemilikan saham, tapi lebih pada soal kendali. Walaupun Indonesia kini memegang 51% saham melalui holding BUMN MIND ID, banyak yang mengatakan bahwa kendali operasional dan teknologi masih tetap dipegang oleh pihak asing. Jadi, apakah itu artinya kita hanya menjadi “pemilik di atas kertas”?

Kata “kedaulatan” sering terdengar dalam pidato para pejabat, tapi sebagai mahasiswa yang belajar akuntansi dan ekonomi, saya percaya bahwa kedaulatan ekonomi bukan sekadar simbol atau slogan. Namun, harus nyata dalam bentuk kebijakan, pengelolaan aset strategis, dan dampak langsung bagi masyarakat. Di Papua, tempat di mana Freeport beroperasi, ironi itu begitu terasa tanah yang kaya mineral justru menyimpan kemiskinan dan ketimpangan. Listrik masih belum menjangkau semua pelosok. Jalan berlubang. Sekolah dan layanan kesehatan masih jauh dari kata layak. Ketimpangan ekonomi ini semakin jelas terlihat ketika kita mengamati distribusi keuntungan yang tidak merata antara negara dan pihak asing. Sebagai perusahaan yang mengelola tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Freeport Indonesia seharusnya memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional, terutama dalam hal meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun, kenyataannya, meskipun Freeport menghasilkan keuntungan yang sangat besar, manfaat tersebut belum dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan pertambangan di Papua. Lalu siapa sebenarnya yang menikmati hasil tambang itu?

Saya merasa ada yang perlu dikoreksi jika memang tambang itu dikelola oleh negara, seharusnya rakyatnya juga merasakan manfaat secara langsung bukan sekadar menjadi penonton yang menunggu “cipratan” bantuan sosial. Dalam laporan keuangan perusahaan tambang seperti Freeport, meskipun ada kontribusi dalam bentuk pajak dan royalti, tetapi seringkali tidak ada transparansi yang memadai mengenai bagaimana keuntungan tersebut digunakan untuk pembangunan yang berkelanjutan di daerah yang terdampak. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset nasional sering kali hanya menguntungkan pihak asing, tanpa ada perbaikan signifikan dalam kualitas hidup masyarakat sekitar.

Saya ingin menekankan “Saya Tidak Anti Asing” dunia global hari ini menuntut kerja sama dan tidak semua hal bisa dikerjakan sendiri. Tapi kerja sama harus dilandasi pada keadilan, bukan dominasi harus saling menguntungkan, bukan memanfaatkan kelemahan satu pihak. Kita bisa belajar dari negara lain seperti Chile atau Norwegia yang mampu mengelola tambang dan migasnya secara mandiri, tanpa harus tergantung pada perusahaan asing. Mereka berani menata ulang kontrak-kontrak yang merugikan dan mempersiapkan SDM lokal untuk menggantikan peran asing. Mengapa Indonesia tidak bisa? Justru dengan pengalaman lebih dari 50 tahun Freeport di tanah kita, seharusnya kita sudah mampu berdiri sendiri. Teknologi bisa kita adopsi. SDM bisa kita latih. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian politik dan keteguhan visi untuk benar-benar menjadikan bangsa ini tuan rumah di negeri sendiri.

Sebagai mahasiswa, kami tidak ingin hanya jadi generasi penikmat teori. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan. Kami ingin ikut membangun masa depan Indonesia yang berdaulat atas kekayaannya sendiri. Isu Freeport ini bukan sekadar debat soal saham dan kontrak. Ini soal bagaimana bangsa ini menentukan masa depannya. Apakah kita terus membiarkan pihak luar mengeruk hasil bumi, atau kita mulai mengambil alih kendali secara bertahap dengan mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang? Saya percaya, perubahan tidak datang dari atas saja. Ia lahir dari suara-suara kecil yang terus bersatu. Dari mahasiswa yang berani bertanya, dari dosen yang jujur mengajar, dari masyarakat yang kritis membaca, hingga dari pemerintah yang mau mendengar. Freeport adalah simbol. Simbol dari bagaimana kita mengelola atau tidaknya kekayaan kita sendiri. Kita boleh bangga sudah pegang 51% saham. Tapi jangan berhenti di situ. Jangan terlena oleh angka. Mari pastikan bahwa kepemilikan itu benar-benar bermakna, berdampak, dan memberdayakan.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?

DIEDIT UNTUK MENAMBAH IDENTITAS DAN DAFAT PUSTAKA
19 MEI 2025

Nama               : Vannya Putri Amalia
NIM                  : 2307020352
Program Studi  : Akuntansi
Fakultas            : Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas       : Universitas Negeri Semarang

- Diyani, Trini. Paradigma Baru Kebijakan Penanaman Modal Asing: Studi Kasus PT Freeport Indonesia. Universitas Islam Negeri Jakarta, 2019. Diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46490/1/TRINI%20DIYANI-FSH.pdfMenghitung
- Kontribusi Freeport untuk Perekonomian Papua dan Indonesia. Kumparan Bisnis, April 2021. Diakses dari https://kumparan.com/kumparanbisnis/menghitung-kontribusi-freeport-untuk-perekonomian-papua-dan-indonesia-1veZHnlAvw7
- Divestasi 51% Saham Freeport, Jonan: Win-Win Solution. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2018. Diakses dari https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/divestasi-51-saham-freeport-jonan-win-win-solution

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun