Mohon tunggu...
Vanissa KarramaBilqiis
Vanissa KarramaBilqiis Mohon Tunggu... can

can you accept my shortcomings

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dalam Tekanan Pandemi: Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan terhadap Perempuan Tahun 2020

30 Oktober 2021   07:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   07:16 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Turunnya jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2020. Namun, turunnya jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Sejalan dengan hasil survei Komnas Perempuan tentang dinamika KtP di masa pandemik, penurunan jumlah kasus dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama masa pandemik (PSBB); korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; persoalan literasi teknologi; dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online). Sebagai contoh di masa pandemik, pengadilan agama membatasi layanannya, serta membatasi proses persidangan.

Pada masa pandemi peneurunan laporan kekerasan dilembaga layanan pemerintah cenderung menuru berbeda dengan lembaga layanan non-pemerintah karena lemabaga ini pada masa pandemi lebih bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan sistem layanan yang ada dan memiliki waktu dalam pelayanan. Berdasarkan data-data yang terkumpul dari pendataan Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, diantaranya  terdapat kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran yang menempati posisi kedua.

Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami,kekerasan oleh  mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ketika korban KDRT atau korban dari ranah personal  mencoba keluar dari lingkaran kekerasan dan/atau melaporkan suami ke kepolisian, dilaporkan balik oleh suami dengan berbagai tuduhan pencemaran nama baik, pemalsuan dokumen penting, UU PDKRT, Peenelantaran anak, UU ITE, UU pornografi dan lain --lain. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kriminalisasi Korban KDRT dalam ranah privat.

Kekerasan terhadap perempuan berikutnya adalah di ranah komunitas/publik dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual yang terdiri dari dari pencabulan , perkosaan , pelecehan seksual , persetubuhan , dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain. Istilah pencabulan masih digunakan oleh Kepolisian dan Pengadilan karena merupakan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku.

Dokpri
Dokpri

Berikutnya kekerasan terhadap perempuan di ranah dengan pelaku negara dari beberapa  kasus-kasus yang dilaporkan. Data berasal dari LSM, WCC , kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara lain adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum , kasus kekerasan terkait penggusuran , kasus kebijakan diskriminatif , kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan serta dengan pelaku pejabat publik.

Pengkategorian kekerasan berdasarkan kategori, diantaranya kekerasan di ranah personal/ KDRT, kekerasan di ranah publik atau komunitas, dan kekerasn di ranah negera dimana negara sendiri yang menjadi pelaku kekerasan adanya pengkategorian tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat mengalami berbagai aspek mulai dari rumah atau orang terdekat, ruang publik, hingga dampak kebijakan negara.

Secara singkat Komnas Perempuan yang menemukan bahwa selama masa pandemik ada peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini disebabkan karena semakin banyak waktu berkumpul di rumah yang dikuatkan budaya patriarki yang menempatkan perempuan untuk menjadi penanggungjawab rumah tangga dan pengasuhan. Tugas-tugas itulah yang menjadikan perempuan stress dan kelelahan dan kemudian mendapatkan KDRT. Selain itu karena dampak pandemik terhadap ekonomi yang mana banyak pekerja laki-laki yang dihentikan dari pekerjaannya, sehingga mengalami krisis maskulinitas dan sebagai upaya pengembalian krisis itu dengan melakukan KDRT. Dalam hal ini kekerasan dalam ranah privat atau personal.

kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020. Demikian pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan yiatu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal yang sama dari laporan Lembaga Layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510 kasus. Meningkatnya angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring (KBGO) sepatutnya menjadi perhatian serius semua pihak.

Di masa pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi dimana kasus kekerasan seksual rentan pada menyasar terhadap perempuan disabilitas , perempuan dengan orientqsi sesual dan ekspresi gender yang berbeda dan perempuan dengan HIV/AIS.

Bentuk kekerasan Femisida: dari Cemburu Sampai atas nama Kehormatan, Femisida digunakan sebagai pembeda pembunuhan biasa (homicide) dengan penekanan khusus adanya ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan sebagai penyebab.Femisida telah menjadi isu serius namun masih kurang mendapat perhatian Indonesia. Bentuk femisida 2020 adalah: (1) akibat kekerasan rumah tangga/pasangan intim; (2) penyiksaan dan pembunuhan misoginis; (3) pembunuhan atas nama "kehormatan"; (4) Orientasi seksual dan identitas gender. Empat besar pemicu femisida adalah cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak hubungan seksual, dan didesak bertanggung jawab atas kehamilan tidak dikehendaki (KTD)

Di tengah-tengah pandemi, hambatan korban dalam mengakses keadilan semakin berlapis-lapis ketika terduga pelaku adalah pejabat publik atau tokoh publik. Pada 2020, masih terdapat pejabat publik yang melakukan kekerasan seksual, KDRT dan Kekerasan terhadap perempuan lainnya kemudian korban mengalami kriminalisasi atau reviktimisasi atas pengaduan yang ia laporkan untuk dapat keluar dalam lingkaran kekerasan tersebut, yang artinya ketidak berpihakan penegak hukum terhadap korban kekerasan karena budaya patriarki yang masih mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat sehingga korban yang mengalami kekerasan cenderung bungkam terhadap kasus atau pengalaman kekerasan yang ia alamikarena hal tersebut masih dianggap tabu dan aib jika diketahui publik. Disamping kenyataan tersebut pada masa ini mulai bertumbuhnya support group komunitas untuk para korban kekerasan seksual. Dukungan dari komunitas sangat penting bagi korban termasuk para korban kekerasan seksual. Dukungan ini menciptakan daya resiliensi korban sehingga menjadi berdaya dan merasa tidak sendirian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun