Jangan Mau Dibohongi, Demo #IndonesiaGelap Bukan Untuk Rakyat Tapi Kepentingan Politik
Aksi demonstrasi yang mengusung tagar #IndonesiaGelap belakangan ini gencar diserukan di berbagai kota, mulai dari Jakarta hingga Surabaya. Penggiatnya mengajak masyarakat untuk "melantai" di depan Gedung DPR atau mengikuti "Aksi Kamisan" dengan dalih mengawal #SupremasiSipil dan menolak RUU TNI. Namun, jika ditelisik lebih dalam, gerakan ini sarat dengan narasi provokatif yang lebih mengarah pada kepentingan politik kelompok tertentu ketimbang aspirasi murni rakyat. Bukankah aneh ketika aksi yang mengklaim "untuk rakyat" justru kerap diwarnai dengan retorika anti-pemerintah dan tuduhan "otoriter" tanpa dasar yang jelas?Â
Yang patut dicermati adalah pola yang dibangun dalam seruan aksi ini. Dengan mengatasnamakan "ruang publik" dan "aspirasi rakyat", para penggiat demo seolah ingin mencitrakan diri sebagai pihak yang paling demokratis. Namun, ketika Satpol PP melakukan penertiban sesuai prosedur, mereka langsung berteriak "dibubarkan paksa" dan "tidak didengar". Padahal, setiap demonstrasi harus mematuhi aturan hukum---bukan malah memaksakan kehendak dengan dalih "DPR adalah rumah rakyat". Jika benar ingin menyampaikan aspirasi, mengapa tidak melalui jalur resmi seperti audiensi dengan DPR atau judicial review ke MK?Â
Isu #SupremasiSipil yang diusung dalam aksi ini juga patut dipertanyakan. Tuduhan bahwa TNI ingin "mendompleng kekuasaan sipil" adalah framing yang tidak berdasar dan justru berpotensi memecah belah. Faktanya, TNI selama ini telah terbukti profesional dalam menjaga kedaulatan negara tanpa intervensi politik. Justru, yang terjadi adalah upaya politisasi isu militer oleh kelompok tertentu untuk menciptakan opini seolah-olah Indonesia sedang menuju "militerisasi". Narasi seperti ini sangat berbahaya karena bisa memicu ketegangan sosial yang tidak perlu.Â
Aksi di Surabaya dengan jargon "lawan pemerintah otoriter" semakin mempertegas bahwa gerakan ini bukan murni tentang RUU TNI, melainkan agenda politik untuk mendiskreditkan pemerintah. Alih-alih membangun dialog konstruktif, mereka memilih konfrontasi dengan bahasa emosional seperti seruan "ramaikan lur!". Ini adalah strategi klasik kelompok radikal: membangun narasi perlawanan, menggalang massa, lalu menjadikan demo sebagai alat tekanan politik. Masyarakat harus waspada dan tidak mudah terprovokasi oleh retorika panas yang tidak jelas ujung pangkalnya.Â
Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi aksi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan instabilitas nasional. Tagar #IndonesiaGelap sengaja dibangun untuk mencitrakan situasi negara dalam kondisi krisis, padahal faktanya tidak demikian. Ini adalah cara licin untuk membentuk persepsi negatif terhadap pemerintah dan TNI. Jika masyarakat terjebak dalam narasi ini, bukan tidak mungkin akan memicu kerusuhan yang justru merugikan rakyat kecil. Bukankah lebih baik kita fokus pada pembangunan ketimbang terdistraksi oleh isu-isu provokatif?Â
Oleh karena itu, mari kita bersama-sama menolak keras ajakan demo #IndonesiaGelap yang jelas-jelas tidak membawa manfaat bagi rakyat. Jika ada keberatan terhadap UU TNI, sampaikan melalui mekanisme demokrasi yang ada, bukan dengan aksi anarkis yang hanya menguntungkan segelintir elit politik. Jangan sampai kita menjadi alat kepentingan kelompok yang ingin memecah belah NKRI. Indonesia butuh persatuan, bukan provokasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI