Di masa kecilnya, ia adalah anak yang tenang. Tapi ketika beranjak remaja, ia mulai sulit diatur. Perintah orang tua dianggap angin lalu. Nasehat guru dipertanyakan. Ia sering melawan, membantah, bahkan tidak segan berbicara kasar pada siapa saja yang mencoba mengaturnya. Anak ini kemudian disebut "pemberontak" oleh orang-orang sekitarnya.
Namun, benarkah pemberontakan itu muncul tiba-tiba? Atau justru tumbuh perlahan sebagai hasil dari dinamika perkembangan jiwa yang tak terpahami sejak dini?
Dalam psikologi perkembangan, fase menuju kedewasaan tidak pernah berlangsung mulus. Setiap individu melewati berbagai tahap yang kompleks baik secara fisik, kognitif, maupun emosional. Ketika seorang anak tumbuh menjadi remaja atau dewasa muda yang cenderung pemberontak, sering kali akar persoalannya bisa ditelusuri jauh ke belakang: ke masa kanak-kanaknya.
Erik Erikson, seorang psikolog perkembangan ternama, menjelaskan bahwa setiap tahap kehidupan membawa tugas perkembangan tertentu. Di usia 1--3 tahun misalnya, anak belajar tentang otonomi versus rasa malu dan ragu. Mereka mulai mengembangkan kehendak sendiri, belajar berkata "tidak", dan mengeksplorasi dunia di sekitar mereka. Jika di fase ini mereka terlalu dikontrol atau sering dimarahi karena "bandel", mereka bisa tumbuh dengan rasa ragu terhadap dirinya sendiri.
Kemudian di usia 3--6 tahun, anak memasuki tahap inisiatif versus rasa bersalah. Anak mulai banyak bertanya, mencoba, dan menantang batasan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang terlalu mengekangyang selalu menganggap pertanyaan atau keingintahuan sebagai kenakalanakan tumbuh dengan perasaan bersalah dan takut mencoba.
Lalu datang masa remaja, saat pencarian identitas mencapai puncaknya. Inilah masa yang dijelaskan Erikson sebagai tahap identity versus role confusion. Remaja yang tidak diberi ruang untuk membentuk jati diri akan mengalami kebingungan peran. Dan dari sinilah sering kali muncul sikap "pemberontakan".
Pemberontakan, dalam banyak kasus, bukanlah bentuk kebencian, tetapi ekspresi dari kebutuhan untuk didengar dan dihargai. Remaja atau dewasa muda yang sering membangkang mungkin tumbuh dari pengalaman masa kecil yang penuh tekanan, kritik, atau ketidakpastian emosional. Mereka terbiasa mengandalkan diri sendiri, dan ketika akhirnya punya kekuatan untuk bersuara, suara itu terdengar tajam, bahkan kasar.
Sayangnya, lingkungan sering merespons pemberontakan dengan pendekatan kekuasaan: "Kamu harus nurut!", "Anak kok melawan orang tua!", tanpa memahami bahwa yang dibutuhkan justru ruang dialog dan pengakuan akan eksistensinya sebagai pribadi yang tumbuh.
Psikologi perkembangan mengajarkan bahwa perilaku anak bukan hanya cerminan dari masa sekarang, tapi juga dari sejarah panjang emosional mereka. Anak yang sering dimarahi tapi jarang dipeluk. Anak yang dituntut berprestasi tapi tidak pernah diberi ruang untuk gagal. Anak yang setiap tangis dan marahnya dianggap berlebihan semua itu bisa tumbuh menjadi pemberontakan yang meledak di usia remaja atau dewasa muda.
Namun, ini bukan akhir segalanya. Anak yang tampak pemberontak masih memiliki harapan besar, selama ada orang dewasa yang mau mengubah cara pendekatannya. Komunikasi yang empatik, bukan otoriter. Dialog yang terbuka, bukan penghakiman. Dukungan emosional, bukan sekadar nasihat.
Pada akhirnya, mereka yang hari ini kita anggap "keras kepala", bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, kritis, dan mandiri jika kita mampu melihat lebih dalam dan memahami bahwa setiap pemberontakan adalah bahasa dari luka atau kebutuhan yang belum terpenuhi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI