Temanya cukup menarik untuk diulas sesuai dengan pengamatan dan pengalaman masing-masing orang, sekalipun telah disebutkan bahwa  pada Pasal 1 angka 2 Permendagri 18/2018, RT/RW merupakan salah dua jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yang terdiri atas: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Bidang lain sesuai kebutuhan.
Pertanyaan yang diajukan, jika merujuk pasal tersebut, maka masa jabatan/masa bakti Ketua RT/RW itu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
Nah, sayangnya, kita kerap mendengar: ada Ketua RT/RW di suatu lingkungan yang sudah menjabat bertahun-tahun, tetapi tidak pernah ada pergantian kepengurusan.
Untuk menjawab ini, sesuai pengamatan  saya yang memiliki ketua RT khususnya, di lain sisi juga pernah terjadi pada Ketua RW.
Perlu diketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010.
Kemudian kita merujuk pada data dari kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sebanyak 87,62 persen atau sebanyak 15.337 pulau di Indonesia tidak berpenghuni. Itu berarti hanya 12,38 persen atau sekitar 2.342 pulau saja yang berpenghuni dari jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau.
Nah, mari kita tinjau dari data dan informasi di atas.
Pertama, karena memiliki suku bangsa yang bebeda-beda, berbeda pula adat kebiasaan yang berlaku dikalangan suku bangsa tersebut. Â Sebut saja mengenai permasalahan Tanah Ulayat Hukum Tanah Adat, belum sepenuhnya diterima dan kerab menjadi permasalahan.
Kemudian, dalam beberapa suku. Misalnya ada yang disebut negri/negeri sebagai penyebutan lain dari Desa, khususnya di Indonesia bagian timur. Mereka tidak mengenal kepala desa, yang mereka kenal adalah Raja
Saya ambil contoh, prosedur pemilihan kepala Raja, karena pada negeri-negeri ini dimana yang memerintah adalah keluarga khusus secara turun temurun (warisan) dengan istilahnya "Mata Rumah Perintah". Maka pemilihan kepala desa di pulau jawa dapat berbeda dengan negeri-negeri di Indonesia bagian timur. Sehingga untuk menjebataninya dikeluarkanlah Perda khusus untuk mengaturnya dengan pendekatan adat dan kebiasaan yang diwariskan secara turun menurun oleh nnek moyang mereka tanpa harus melanggar hukum positif yang berlaku.