Hidup di zaman ketika berbagai negara di dunia tengah berlomba-lomba memaksimalkan kinerja pemerintah demi mencapai kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, mungkin bukan realitas yang bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Awal Oktober 2025, Indonesia dikejutkan oleh temuan kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten. Sebanyak 22 pabrik dikonfirmasi terpapar zat radioaktif setelah ekspor udang beku dari salah satu perusahaan di kawasan tersebut terdeteksi mengandung Cs-137 oleh otoritas Amerika Serikat (Reuters, 2025). Ironisnya, fakta mengkhawatirkan ini justru pertama kali terungkap melalui laporan dari luar negeri dan bukan hasil pengawasan internal pemerintah. Â Â
Fakta tersebut memperlihatkan adanya celah besar dalam sistem pengawasan negara, di mana tindakan preventif dan koordinasi antarinstansi masih lemah, sehingga negara cenderung bersikap reaktif ketimbang antisipatif. Dalam konteks ini, kekuasaan negara yang mestinya dijalankan atas dasar rasionalitas hukum dan kepentingan masyarakat tampak kehilangan daya kendalinya. Pemerintah hadir bukan sebagai pelindung yang mampu mencegah ancaman, melainkan sebagai otoritas yang baru bergerak setelah krisis terjadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan tidak hanya bergantung pada wewenang formal, tetapi juga pada kemampuan negara menjalankan tanggung jawabnya secara efektif dan berorientasi pada keselamatan rakyat secara tanggap.
Kekuasaan yang Terlambat HadirÂ
Dalam teori Max Weber, kekuasaan negara disebut sebagai bentuk otoritas rasional legal, di mana negara dianggap memiliki legitimasi untuk mengatur demi kepentingan publik berdasarkan aturan dan hukum yang telah ditetapkan. Namun, tampaknya segala aturan dan hukum yang telah dibentuk tersebut tak berfungsi sepenuhnya apabila tak ada koordinasi dan realisasi yang baik. Kasus Cikande justru menunjukkan bahwa kekuasaan itu sering kali hadir terlambat yaitu setelah bencana terjadi. Pemerintah baru memperketat pengawasan setelah radiasi ditemukan di luar negeri, bukan ketika proses industri berlangsung di dalam negeri. Sumber dugaan utama radiasi berasal dari besi bekas (scrap metal) yang diimpor tanpa pengujian ketat. Padahal, material semacam itu telah lama dikenal sebagai medium berisiko tinggi membawa unsur radioaktif. Dalam konteks ini, negara gagal memainkan peran preventifnya sebagai pengawas dan pelindung masyarakat.Â
Masyarakat dalam Kabut InformasiÂ
Masyarakat sekitar Cikande, termasuk ribuan pekerja industri, baru mengetahui risiko radiasi setelah media internasional memberitakan. Pemerintah kemudian menenangkan publik dengan mengatakan bahwa kondisi "aman dan terkendali", meskipun data awal menunjukkan ada 9 orang yang positif terpapar Cs-137 (Antara News, 2025). Fenomena ini menggambarkan bagaimana relasi sosial dalam masyarakat masih bersifat vertikal dimana informasi bergerak dari atas ke bawah, dan rakyat berperan sebagai penerima pasif. Pola komunikasi yang tertutup ini terlihat jelas di lapangan. Â Â Menurut laporan BBC News Indonesia (2025), sejumlah warga bahkan mengaku belum mendapat penjelasan langsung tentang bahaya radiasi maupun mekanisme relokasi lingkungan. Di Kampung Sadang, Desa Nambo, garis kuning dan stiker peringatan bahaya radiasi telah dipasang Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), namun warga tak memahami arti simbol radiasi tersebut. Seorang warga desa bernama Sarmiti pun mengaku tak pernah menjalani pemeriksaan kesehatan maupun mendapat sosialisasi apa pun dari pihak berwenang. Sementara itu, di Kampung Combrang, wilayah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari sumber utama cemaran radioaktif di PT Peter Metal Technologi (PMT), warga juga masih menunggu kejelasan. Arief, salah satu warga, mengatakan bahwa informasi mengenai relokasi baru ia ketahui dari pemberitaan media massa di TV dan sosial media, bukan dari pemerintah setempat. Kondisi ini bukan hanya menggambarkan kegagalan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sekitar, tetapi juga cerminan dari budaya sosial yang terbentuk di tengah masyarakat, di mana masyarakat cenderung diam dan memilih "aman" daripada menuntut hak mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis informasi tidak berdiri sendiri, melainkan berakar dari budaya kepatuhan yang telah lama mengakar dalam kehidupan politik dan sosial Indonesia. Â
Budaya Kepatuhan dan Diamnya Rakyat
Dalam banyak kasus di Indonesia, masyarakat sering kali tidak dilibatkan dalam proses penyelesaiannya. Masyarakat lebih memilih untuk patuh dan diam karena budaya politik yang terbentuk selama puluhan tahun mengajarkan bahwa pemerintah "tahu yang terbaik". Budaya kepatuhan ini adalah warisan sistem paternalistik dalam politik Indonesia di mana penguasa diposisikan sebagai "orang tua" yang dianggap selalu benar. Padahal, dalam masyarakat demokratis, partisipasi dan kontrol publik merupakan elemen utama untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Jika masyarakat tidak diberi ruang untuk berpendapat atau mengakses informasi, maka kekuasaan akan terus berputar dalam lingkaran tertutup dan suara rakyat hanya akan menjadi gema tak bermakna. Indonesia butuh sistem baru yang membuat warga tahu, terlibat, dan terlindungi, bukan sistem yang hanya bisa mengandalkan sumber informasi dari pihak lain untuk bergerak. Keselamatan masyarakat adalah tugas bersama, menunda edukasi dan koordinasi adalah memilih mengulang luka yang sama.Â
Daftar Pustaka
Reuters. (2025, October 8). Indonesia says 22 plants in industrial zone near Jakarta contaminated by Caesium-137. Reuters. https://www.reuters.comÂ
Febrianto, V. (2025, October 3). Indonesia intensifies Cs-137 cleanup in Cikande Industrial Zone. ANTARA News Jawa Timur. https://jatim.antaranews.com/berita/983649/indonesia-intensifies-cs-137-cleanup-in cikande-industrial-zoneÂ