Mohon tunggu...
Yanna Uzlifa
Yanna Uzlifa Mohon Tunggu... -

Berpikir besar kemudian bertindak I Ilmu Komunikasi 2013

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Figur Tokoh sebagai Pertarungan Kekuatan Partai Politik dalam Pemenangan Pemilu 2014

10 Mei 2014   14:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia politik tanah air kerap kali diidentikkan dengan politik ketokohan, dimana pemimpin atau calon presidennya menjadi sorotan tersendiri dalam menarik apresiasi dan dukungan dari rakyat. Fenomena ini selalu dibuktikan adanya, pada tiap periode pemilu di Indonesia. Partai yang unggul dalam perolehan suara pemilu, umumya karena memboyong  satu-dua figur yang memiliki elektabilitas tinggi di masyarakat. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia, partai yang berada di urutan teratas perolehan suara merupakan partai besar dengan popularitas figur-figur mereka. Pada tahun 2014 ini, kemenangan partai dalam pemilu pun faktanya tak lepas dari peran serta figur tokoh yang membangun pencitraan untuk mendongkrak suara partainya. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan sosok-sosok seperti  Jokowi sebagai pemimpin yang terkenal dengan keluguannya, dan kedekatannya dengan rakyat, membuat PDIP tak luput dari ikon sang jokowi dalam setiap kampanyenya. Atau sosok Prabowo yang tahun ini sukses mendongkrak suara Partai Gerindra dengan begitu signifikan dari oeriode pemilu sebelumnya, ditambah sosok Soeharto dengan pencitraan keberhasilannya sebagai presiden RI di era orde baru, masih tak lepas menjadi figur sorotan di partai Golkar. Dari awal paparan saya diatas, pada pemilu 2014 ini saya memprediksi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Gerindra akan berhasil menduduki tiga posisi teratas dalam perolehan suara, karena figur tokoh partai mereka yang begitu akrab dimata masyarakat dan media. Menariknya, pertarungan figur tokoh ketiga partai begitu seimbang, mengingat tidak adanya partai yang berhasil memenuhi target suara berdasarkan hasil perolehan quick count kemarin. Kemunculan Jokowi 2 tahun belakangan melalui prestasinya sebagai walikota solo yang begitu banyak disorot media, merupakan kekuatan yang sakti mandraguna bagi PDIP untuk membangun citranya menggunakan politik ketokohan. Sebagaimana pendeklarasian jokowi sebagai calon presiden dari PDIP di momen akhir menjelang pemilu legislatif 2014, disinyalir merupakan salah satu strategi PDIP untuk mendongkrak apresiasi masyarakat terhadap partai moncong putih tersebut. Pembentukan figur Jokowi sebagai strategi PDIP dalam mendongkrak suara, dibuktikan dengan ditemukannya banyak spanduk dan baliho di beberapa kota di Jawa Tengah yang bertuliskan “Jokowi Presiden! Coblos No. 4” Namun, kemunculan jokowi sebagai calon presiden PDIP yang diharapkan dapat mendongkrak suara partai sebagaimana prediksi berbagai lembaga survei yang selalu meletakkan nama jokowi  diperolehan teratas dengan capaian lebih dari 30%, hasil quick count justru membuktikan bahwa sosok jokowi tidak begitu berhasil membangun citra PDIP sehingga tidak dapat mengantarkan PDIP pada perolehan lebih dari 30% suara.Meskipun sejauh perolehan hasil quick count sudah mengindikasikan PDIP unggul di posisi pertama. Politik ketokohan PDIP dengan membangun citra seorang jokowi rupanya tidak mutlak membuat partau tersebut menang telak seperti yang diharapkan. Pengaruh “Jokowi Effect” yang jauh dari prediksi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, pertama;  performance Jokowi saat dicapreskan menjelang pemilu 2014 sangat berbeda dari pencalonannya ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dulu, bekal keberhasilan Jokowi di Kota Solo menjadi sorotan dan magnet politik yang digandrungi media. Sementara, ekspose media yang semakin menurun pasca Jokowi dengan resmi mengumumkan pencapresan dirinya, rupanya telah memengaruhi pembentukan opini publik yang dalam perkembangannya publik semakin kritis menilai akan kapasitas kepemimpinan dan tanggung jawab Jokowi sebagai pemimpin. Kedua; target komunikasi politik yang dibangun Jokowi melalui “blusukan”nya masih jauh dari sasaran khalayak atau luasnya wilayah, ditambah kurang meyakinkannya pesan politik yang disampaikan Jokowi membuat politik ketokohan PDIP kurang maksimal. Sama halnya dengan PDIP, Partai GOLKAR yang saya prediksi menempati posisi kedua Real Count Pemilu 2014 juga masih menggunakan politik ketokohan untuk mendongkrak elektabilitas partainya di masyarakat. Namun bedanya, keminiman tokoh partai Golkar yang diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas partainya, menjadikan partai itu masih mengandalkan Soeharto Effect. Dalam pesan-pesan kampanyenya, ketua umum partai Golkar, ARB kerap menunjukkan kerinduan pada kejayaan masa orde baru dibawah kepemimpinan Golkar, Pesan kampanye partai Golkar dengan figur tokoh Soeharto yang tersenyum sembari melambaikan tangan, ditambah logo partai tersebut dengan tagline “Piye Kabare Bro! Isih Penak Jamanku to?” begitu akrab terdengar beberapa tahun belakangan ini. Hal ini menunjukkan strategi partai Golkar dalam mempengaruhi opini publik dengan menciptakan memori rindu kedamaian dan kesejahteraan masa lalu kepada masyarakat mengingat perubahan yang dijanjikan pada masa reformasi tak kunjung tiba. Bagi saya, opini publik akan memori rindu masa orba yang coba dibangun oleh Partai Golkar menunjukkan taraf keberhasilannya, melihat banyak dari simpatisan dan pendulang suara partai ini, yang berasal dari masyarakat jaman orde baru, masyarakat pedesaan, kaum petani dan generasi-generasi tua. Meskipun pola kampanye ini tidak mendidik mengingat pesan politiknya yang begitu parsial dan membodohi realita pada masa orde baru sesungguhnya, namun partai Golkar tetap dapat bertarung dengan strategi politik ketokohan “Soeharto” dan memboyong partai ini pada posisi kedua teratas dalam pemilihan legislatif 9 April kemarin. Pertarungan figur tokoh partai politik sebagai strategi pemenangan juga dilakukan oleh Partai Gerindra yang pada tahun 2014 ini, figur Prabowo Subianto memiliki peranan penting dalam  keberhasilannya membangun elektabilitas partai. Semenjak tahun 2009, Prabowo diperkenalkan oleh Partai Gerindra sebagai calon presiden yang memiliki kualitas kepemimpinan dengan visi-misinya terhadap masa depan Indonesia rupanya mampu mempengaruhi opini publik sekaligus menepis isu miring mengenai figur partai gerindra tersebut. Posisi ketiga yang diraih oleh Partai Gerindra dalam Pemilihan Legislatif  9 April lalu, jelas menunjukkan keberhasilan pencitraan Partai Gerindra melalui figur seorang Prabowo di mata masyarakat terutama kalangan pengusaha dan ABRI. Gaya kepemimpinan Prabowo yang menawarkan visi martabat dan kemandirian bangsa seolah menjadi antitesis bagi pemerintahan SBY kini. Sehingga, sebagai partai baru, Gerindra mampu menyaingi partai-partai senior lainnya melalui pertarungan strategi politik ketokohan tersebut.

Namun, tanpa kita sadari fenomena pertarungan figur tokoh sebagai strategi pemenangan di pemilu 2014 ini, mengindikasikan iklim yang tidak sehat bagi perpolitikan tanah air. Sebuah persoalan lokomotif di gerbong partai politik akan menjadi tidak sehat apabila hanya mengandalkan gerbong-gerbong tertentu saja, sehingga budaya politik dalam partai tidak dapat mapan dan berkembang. Padahal dalam menjalankan fungsinya, partai tidak hanya dapat mengandalkan suara lewat figuritas tokoh sebagai lokomotif partainya. "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?"(QS. 3: 144) "Jangan Pilih Partai karena Capres yang Diusungnya." BJ Habibie


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun