Kedua, dari sisi sekolah (kepala sekolah dan guru) juga masih banyak yang belum terbiasa menerima kritik. Masih ada mindset bahwa pihak yang mengkritik berarti mereka membenci atau menentang, sehingga respon yang muncul cenderung defensif atau bahkan muncul tindakan yang bersifat ancaman. Kondisi ini menutup peluang dialog terbuka yang sehat.
Selain dua hal di atas, saya kira ada bebera faktor yang mendorong munculnya fenomena ini:
- Kurangnya saluran aspirasi internal yang efektif
Banyak sekolah memiliki OSIS, MPK (Majelis Perwakilan Kelas), atau forum musyawarah siswa, namun kenyataannya peran ini sering hanya bersifat formalitas. Program yang dijalankan lebih fokus pada kegiatan seremonial---seperti lomba atau peringatan hari besar---daripada benar-benar menampung dan menyalurkan aspirasi siswa yang berhubungan dengan kesejahteraan dan masalah-masalah siswa. Akibatnya, siswa merasa tidak memiliki ruang aman untuk mengutarakan masalah, sehingga mereka mencari cara yang lebih ekstrem agar suara mereka terdengar.
- Respons yang lambat atau kurang memuaskan dari pihak sekola
Ketika keluhan siswa disampaikan, baik melalui perwakilan kelas maupun guru, respons yang diterima sering kali lambat atau tidak memberikan solusi konkret. Misalnya, masalah fasilitas yang rusak berbulan-bulan tidak diperbaiki, atau keluhan tentang perilaku guru hanya direspons dengan "nanti akan ditindaklanjuti" tanpa kejelasan. Rasa tidak percaya terhadap proses internal ini membuat siswa memilih jalur yang lebih frontal.
- Pengaruh Media Sosial
Media sosial memiliki peran besar dalam membentuk pola aksi ini. Video atau berita tentang demo siswa di daerah lain dapat tersebar cepat, lengkap dengan narasi yang memancing solidaritas. Siswa yang melihat aksi serupa menjadi termotivasi karena menganggapnya cara efektif untuk menarik perhatian publik. Dalam beberapa kasus, momen-momen demo justru diabadikan dan diunggah untuk mendapatkan dukungan luas dari warganet.
- Kurangnya Literasi Demokrasi dan Komunikasi Efektif
Pendidikan demokrasi di sekolah sering kali hanya diajarkan di ranah teori, misalnya pada mata pelajaran PPKn, tanpa latihan nyata bagaimana mengemukakan pendapat secara tertib, logis, dan prosedural. Akibatnya, siswa kurang terlatih dalam menggunakan bahasa yang tepat, memilih jalur penyelesaian masalah, dan memahami konsekuensi hukum dari sebuah aksi. Hal ini membuat sebagian aksi berujung pada tindakan yang emosional atau melanggar tata tertib.
- Faktor Eksternal
Tidak jarang aksi siswa dipengaruhi oleh pihak luar, seperti dorongan alumni yang punya kepentingan terhadap kebijakan sekolah, komunitas tertentu yang menolak aturan baru, atau bahkan intervensi sebagian orang tua yang tidak puas dengan pihak sekolah. Faktor eksternal ini dapat memberikan keberanian sekaligus "bensin" tambahan bagi siswa untuk melakukan protes massal, bahkan ketika sebagian besar siswa awalnya tidak terlalu ingin terlibat.
Apakah Ada Dampaknya untuk Pendidikan?
Lalu kira-kira apa dampak dari fenomena ini bagi Pendidikan? Saya kira ada dua sisi dampak bagi dunia pendidikan:
Dampak Positif
- Munculnya keberanian berpendapat
Siswa belajar untuk tidak diam ketika merasa ada ketidakadilan atau masalah di lingkungan sekolah. Ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran kritis terhadap kondisi sekitar. Bagi sekolah, ini menjadi peluang untuk memberikan pembelajaran yang lebih kontekstual kepada siswa, tidak sekadar teori namun diajarkan juga life skill seperti berdialog dan menyelesaikan permasalahan.
- Memicu perbaikan di Sekolah