Mohon tunggu...
Utami Putri
Utami Putri Mohon Tunggu... Wiraswasta - To be a writer, Insyaaaallah.

menyukai mendengarkan, mengamati dan tentunya.. belajar menulis..:)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Fragmen 3: Tentang Rahasia (2)

15 Juni 2011   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rangga terburu-buru meninggalkan Hanung, sahabatnya, untuk urusan mendesak yang diberitakan kaki tangannya barusan. Ia berniat untuk segera kembali ke rumahnya dalam beberapa puluh menit saja. Rangga akan menyerahkan urusan tersebut pada kaki tangannya, selepas ia sampai di perusahaannya.

Setelah menemui orang kepercayaannya dan berdiskusi beberapa waktu, akhirnya Rangga menyadari bahwa ia harus turun tangan langsung dalam menyelesaikan masalahnya. Hati Rangga diliputi perasaan bersalah kepada Hanung, sebab ia urung meluangkan waktu bersamanya sebagaimana yang dijanjikan. Rangga berniat untuk pulang ke rumah dan meminta maaf kepada Hanung secara langsung, lalu kembali lagi ke kantornya.

Namun, di saat bersamaan, Rangga mendapat telepon dari Hanung, yang menjelaskan bahwa dirinya tidak jadi menginap di rumah Rangga dan akan pulang kembali ke rumah pamannya di Setiabudi. Paman mendesakku untuk segera pulang, ada hal yang mesti disampaikannya langsung, Hanung beralasan. Rangga sedikit lega, sebab dia tak perlu mengumpulkan sederet kalimat halus yang perlu diucapkan agar Hanung tak merasa tersinggung, saat Rangga harus berterus-terang bahwa ia tengah menghadapi masalah yang sangat krusial. Tanpa, meninggalkan kesan bahwa sang sahabat sama sekali tak bernilai dibanding masalah perusahaannya. Agak sulit.

Cukup lama, Rangga menyelesaikan masalah perusahaannya. Rapat mendadak dan berdiskusi lama melalui telepon, dengan beberapa relasinya. Malam kian larut. Dan Rangga dapat merasakan kepeningan yang menyiksa kepalanya, sesaat setelah ia keluar dari gedung perusahaan. Ingin rasanya, ia tiba lebih cepat di rumah.

Tepat pukul dua belas malam, mobil Rangga telah masuk ke dalam garasi rumah. Setibanya di ruang kamar, Rangga langsung merebahkan diri untuk segera tidur. Dia amat terganggu dengan sakit di kepalanya. Namun, sebelum matanya benar-benar terpejam, terdengar jelas suara isak tangis yang meratap di telinganya. Rangga mencari sumber bunyi itu.

Akhirnya, ia menyadari bahwa tangisan itu berasal dari Lastri, istrinya yang tengah berbaring di samping kanan dan membelakanginya. Rangga sedikit terkejut. Semula, dia mengira bahwa istrinya itu telah tertidur pulas. Ada apa dengannya?, tanya Rangga dalam hati.

Sebab sakit di kepalanya yang semakin mengusik, Rangga berusaha untuk mengabaikannya. Namun, makin lama isak tangis Lastri makin keras terdengar. Hati kecil Rangga mengungkapkan sedikit kekhawatiran. Rangga yang sedari tadi memutuskan untuk tidur, akhirnya memaksakan diri untuk menanyakan keadaan Lastri.

“apa kau baik-baik saja?” Rangga bertanya dengan lirih.

Istrinya yang ditanya itu, tidak menjawab apa-apa. Makin lama, isak tangis Lastri malah berangsur meredam dan menghilang.

Mata Rangga masih terjaga selama beberapa waktu. Rangga sedikit tersinggung karena Lastri mengacuhkannya. ah,, mengapa juga aku harus menyoalkannya?, apa mungkin ia bermimpi?. Dia menyesal bertanya jika ternyata memang prasangkanya benar. Bahwa Lastri hanya bermimpi. Rangga segera menepis rasa cemasnya pada Lastri.

Keesokan paginya, sebuah alibi mengukuhkan sebuah jawaban yang seharusnya Rangga terima semalam. Bahwa istrinya, Lastri, memang dalam keadaan tidak baik. Rangga dapat memerhatikan dengan jelas perubahan yang terjadi pada kedua bola mata istrinya. Amat sembap. Cukup lama, Rangga berusaha meruntuhkan sikap egonya, untuk menanyakan kembali keadaan Lastri. Namun pada akhirnya, niat baik itu ia urungkan pula.

***

Kemarin siang, Rangga mendapat berita dari Hanung, bahwa dia telah membatalkan kepulangannya ke Lombok hingga esok hari. Dan pagi ini, Rangga berjanji akan menggunakan waktunya untuk mengantarkan Hanung ke bandara. Sebagai bentuk rasa penyesalannya karena tak mampu menjadi tuan rumah yang baik untuk Hanung, beberapa hari kemarin. Walaupun, sebenarnya Rangga sangat merasakan perbedaan tubuhnya yang kurang segar dibanding hari-hari sebelumnya. Akibat pikirannya yang selalu bertumpu pada setumpuk masalah pekerjaan belakangan ini.

Hanung sudah bersiap di depan halaman rumah pamannya, saat Rangga tiba menjemputnya. Rangga ikut membantu Hanung menyimpan koper Hanung ke dalam bagasi mobil Rangga.

“istrimu tak ikut? apa ia sehat?” Hanung bertanya tiba-tiba.

Rangga terkesiap. Agak kaget dengan pertanyaan Hanung.

“tentu.. dia baik-baik saja di rumah..” sahut Rangga dengan tenang.

kenapa dengan Hanung? pikir Rangga. Punbeberapa hari yang lalu sahabatnya itu meminta nomor kontak Lastri kepadanya. Dengan alasan beberapa teman semasa SMA yang masih berhubungan dengan Hanung, merasa kesulitan mendapatkan nomor kontak Lastri. Perasaan yang janggal tiba-tiba menyergap Rangga. Sesuatu yang amat jarang terjadi. Cemburu.

Hey.. ada apa denganku?.. aku menikahi Lastri demi kepentingan ayah.. bisik Rangga dalam hati, berusaha untuk tidak menghiraukan prasangka dan perasaannya.

Setelah Hanung berpamitan di bandara untuk segera masuk ke ruang tunggu, Rangga bergegas pergi dengan cepat menuju perusahaannya. Banyak hal yang mesti diurusnya. Namun, di tengah perjalanan, Rangga merasakan sakit yang teramat, kembali bersarang di kepalanya. Rangga menduga bahwa tekanan darahnya tengah naik. Akhirnya, dengan terpaksa Rangga memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya dan beristirahat sejenak di sana. Dengan berbaring sebentar, mungkin akan membuatku lebih baik, pikirnya.

Saat tiba di rumah, Rangga bergegas menghampiri tangga yang dapat membawanya ke ruang kamar. Dia tak sabar untuk segera menidurkan diri di kasur empuknya. Pikirannya telah terbayang akan kesembuhan yang diperolehnya selepas beristirahat. Juga, rutinitas hariannya yang akan segera ia tekuni kembali di perusahaannya, nanti.

Ketika Rangga bersiap menaiki undakan tangga, secara tiba-tiba kedua bola matanya tertuju pada sebuah pintu kaca terbuka, yang menghubungkan ruang santai keluarga dengan taman di belakang rumahnya. Entah, magnet apa yang menyebabkan Rangga tak bisa menafikan ajakan lensa matanya, untuk melukis sebuah gambar sempurna di retinanya. Dengan hijau taman sebagai latarnya dan sesosok wanita di kejauhan yang tengah asyik menyirami aneka bunga sebagai objek utamanya. Wanita itu adalah istrinya sendiri.

Lastri. Pemilik bola mata coklat yang memancarkan cahaya kelembutan, serta garis wajah yang melukiskan semburat keanggunan. Rangga tertegun sesaat. Sejurus kemudian, Rangga menyadari sesuatu. Jantungnya berdetak lebih cepat dan sebuah imajinasi muncul di pikirannya. Seandainya kaki ini bisa berjalan menemuinya, mulut ini membuka percakapan dengannya dan bersenda gurau di sampingnya, mungkin akan sedikit meringankan kesakitanku, pikirnya. Entah sebab apa yang membuatnya memiliki hasrat tersebut. Rangga cukup bingung dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Ah.. apa yang terjadi denganku?.

Rangga menenangkan diri dan berusaha menghalau setiap jengkal keinginannya yang mulai memberontak. Merasa sakit di kepalanya kian mengusik, akhirnya Rangga buru-buru menghapus paksa semua pikiran dan perasaan yang muncul seketika, tanpa ia kehendaki. Dengan cepat, ia segera menaiki tangga dan memasuki ruang kamarnya. Pada akhirnya, ia kembali beranggapan bahwa apa yang telah dihadapinya tadi adalah sesuatu hal yang tidak penting.

Rangga telah terbaring di ranjangnya, saat Lastri memasuki kamar. Dia berupaya untuk tidak mengindahkan kedatangannya. Rangga menutup kedua matanya.

“mas,, kau sakit?..”

Rangga cukup terkesima saat mendengar suara cemas Lastri, yang ditujukan padanya. Dia berusaha untuk mengabaikannya, namun tak bisa. Dengan terpaksa, dia meladeni pertanyaan sang istri.

“iya..” jawab Rangga. Singkat.

Sejenak, keheningan menyelimuti ruang kamar.

“pusing..?” Lastri kembali membuka suara.

“sedikit..”

“apa tekanan darah mas naik,,?”

“aku tak tahu,,,” jawab Rangga sekenanya.

“tunggu sebentar.. akan kubuatkan secangkir air parutan mentimun dengan sedikit gula batu..”

Rangga mendengar derap langkah Lastri yang buru-buru keluar dari dalam kamarnya. Rangga tertegun sendirian. Dia sedikit menyesal karena telah bersikap tidak baik pada Lastri, yang memerhatikannya sedari tadi. Ia mencoba memejamkan matanya agar tak perlu bersentuhan ucap kembali dengan Lastri, tapi tak bisa. Rangga tak mampu menyangkal, bahwa ia berharap dan menunggu kembali kedatangan istrinya itu.

Tak berapa lama, Rangga mendengar suara ringan langkah kaki Lastri yang semakin lama semakin jelas terdengar. Lastri tengah kembali menuju kamar, pikir Rangga. Dia berpura-pura memejamkan matanya. Tak menunggu lama, Rangga dapat merasakan kehadiran sang istri yang duduk di sampingnya.

“mas, bangunlah... coba minum ini.. mungkin akan membuatmu lebih segar..” ujar Lastri sembari memegang tangan Rangga.

Dengan sisa keangkuhan yang masih melekat, Rangga mencoba keras untuk mengalah dan membuka matanya. Segelas besar obat herbal segar tengah berada di hadapannya.

“obat apa ini?” tanya Rangga.

“ini adalah obat alami yang biasa orang minum jika mengalami kenaikan tekanan darah.. kupikir mas Rangga terlalu sibuk dengan pekerjaan, yang membuat stres pikiran mas meningkat.. hingga tekanan darah mas meninggi dan akhirnya mas menjadi sakit,,, ini hanyalah obat yang berasal dari tumbuhan alam yang aman, tidak akan berefek apa-apa jika ternyata dugaanku salah.. ” jawab sang istri dengan panjang lebar.

Rangga cukup terkesan dengan penjelasan Lastri. Istrinya itu ternyata lebih menyukai obat-obatan dari bahan alami yang aman, ketimbang bahan kimia yang dapat mengakibatkan efek samping. Tak hanya itu, perhatian khusus istrinya, adalah hal utama yang menyebabkan runtuhnya semua prasangka sentimennya terhadap seorang wanita. Akhirnya, Rangga menuruti perintah Lastri. Dia mencoba meminum obat alami itu. Meski, sebetulnya dia lebih mempercayai resep obat yang diberikan dokter.

Rangga telah meminum habis obat herbal yang diberikan Lastri. Sejurus kemudian, matanya dapat mengawasi sikap Lastri yang tergesa-gesa dalam mengambil gelas kosong yang dipegangnya. Rangga sedikit kecewa. Dia meyakini bahwa istrinya hendak bergegas keluar dari kamar, meninggalkan ia sendirian, dan beralih pada aktivitas lain yang lebih disukainya. Sesungguhnya, Rangga masih menginginkan Lastri untuk tetap berada di sampingnya.

“Lastri,,” ujar Rangga tiba-tiba sembari memegang tangan kiri Lastri. Refleks, ia menahan Lastri yang telah berdiri dan hendak melangkahkan kaki.

Sejurus kemudian, Rangga menatap wajah keheranan Lastri yang memandang lurus kearahnya.

“ya..” sang istri menyahut.

Rangga sedikit malu dan terdiam sejenak sembari mengumpulkan keberanian, untuk mewujudkan apa yang diinginkannya saat ini.

“bisakah.. kau.. temani.. aku..?” ujar Rangga pelan. Agak gugup.

Rangga dapat menatap paras Lastri yang tertegun sebentar. Tak lama, Lastri duduk kembali. Sementara, Rangga merasa heran dengan kekuatan aneh yang melingkupi dirinya. Hingga, ia mampu mengajukan sebuah permintaan pada Lastri, yang dinilainya tak masuk akal. Ah, sudahlah.. Ranggamemejamkan mata setelah meyakini dengan pasti bahwa Lastri memang tengah duduk di sampingnya. Menemani kesakitan Rangga, baik di sudut lahir maupun batinnya.

Bersambung..

================================================

Kolaborasi dengan Empuss Miaww..

Sebelumnya:

Fragmen Pertama : Tentang Diriku

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan (2)

Fragmen Ketiga : Tentang Rahasia (1)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun