Bayang-Bayang Ketimpangan dalam Otomatisasi
(Studi Bias Algoritmik di Maluku Utara)
Abstrak
Perkembangan teknologi digital membawa transformasi besar dalam pengambilan keputusan publik melalui pemanfaatan algoritma. Namun, algoritma tidak selalu netral. Artikel ini membahas bias algoritmik dalam konteks Provinsi Maluku Utara dengan menyoroti kasus-kasus dalam sistem zonasi pendidikan, rekrutmen digital, dan kampanye politik berbasis data. Dengan menggunakan pendekatan studi pustaka dan refleksi kontekstual lokal, artikel ini menunjukkan bahwa bias algoritmik sering kali berasal dari data historis yang tidak adil dan asumsi sistem yang eksklusi. Dibutuhkan regulasi, audit, dan pendidikan literasi digital untuk memastikan keadilan dalam sistem digital.
Kata kunci: bias algoritmik, big data, keadilan digital, Maluku Utara, algoritma, regulasi
Pendahuluan
Di era big data, algoritma menjadi komponen sentral dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor, mulai dari layanan publik, rekrutmen tenaga kerja, distribusi bantuan sosial, hingga kampanye politik. Algoritma bekerja dengan memproses kumpulan data dalam skala besar untuk menghasilkan klasifikasi, rekomendasi, dan prediksi yang dijadikan acuan pengambilan keputusan secara otomatis. Dalam sistem yang tampaknya objektif ini, terselip kerentanan terhadap bias struktural. Annika Richterich (2018) menekankan bahwa algoritma tidak pernah netral; mereka merefleksikan nilai, asumsi, dan bias dari para perancang serta data yang digunakan sebagai pelatihan.
Bias ini dikenal sebagai bias algoritmik, yakni kondisi ketika sistem algoritma menghasilkan keputusan yang merugikan kelompok tertentu secara sistematis karena ketimpangan dalam data historis, kekeliruan desain, atau penyaringan informasi secara diskriminatif. Claire O'Neil (2016) menyebut fenomena ini sebagai weapons of math destruction, ketika algoritma tidak hanya gagal mengoreksi ketimpangan, tetapi justru memperparahnya secara terselubung dan otomatis. Ini membentuk tantangan besar bagi tata kelola keadilan sosial di era digital.
Dalam konteks Indonesia, isu bias algoritmik telah muncul dalam berbagai sektor. Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi, algoritma rekrutmen tenaga kerja berbasis kecocokan teknis, hingga periklanan politik di media sosial menunjukkan bahwa sistem yang didorong oleh data sering kali abai terhadap prinsip inklusivitas. Minimnya regulasi dan literasi digital memperparah kondisi ini, sehingga kelompok rentan sulit memahami dan menggugat hasil keputusan yang merugikan mereka.
Kondisi ini menjadi semakin kompleks di wilayah seperti Maluku Utara, provinsi kepulauan dengan tantangan geografis, akses teknologi yang tidak merata, dan struktur sosial yang heterogen. Di provinsi ini, sistem digital yang dirancang tanpa mempertimbangkan realitas lokal berisiko menciptakan bentuk baru dari diskriminasi struktural. Contohnya, algoritma zonasi sekolah yang mengutamakan kedekatan geografis bisa berdampak diskriminatif bagi siswa di pulau-pulau kecil yang aksesnya terbatas ke fasilitas pendidikan unggulan.
Selain itu, penggunaan teknologi digital oleh perusahaan tambang dan lembaga publik dalam perekrutan tenaga kerja sering kali tidak menyertakan fitur aksesibilitas bagi penyandang disabilitas atau masyarakat adat. Data administratif yang tidak lengkap atau keterbatasan sinyal internet di wilayah pedalaman membuat sebagian besar penduduk lokal terpinggirkan dari sistem digital. Dalam hal ini, bias algoritmik tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan ketimpangan struktural yang telah lama eksis.