Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Layangan Putus

10 Desember 2023   00:00 Diperbarui: 10 Desember 2023   00:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: editan Usman

Wirya gigit jari. Keberuntungan urung menghampirinya. Lahan yang digadang-gadang akan terjual melalui negosiasi yang dilakukannya dengan seorang calon pembeli ternyata terjual oleh pemiliknya sendiri, tanpa perantara. Padahal andai dia dapat menggolkan penjualannya, dipastikan dia akan mendapat puluhan juta rupiah. Suatu jumlah yang tidak sedikit, bisa mencapai berkali-kali gaji buruh pabrik. Rencananya membeli mobil seken milik sahabatnya pun batal.

Dunia bisnis jasa percaloan telah digelutinya sejak dia berhenti bekerja dari pabrik sepatu yang bangkrut. Pada mulanya dia hanya coba-coba membantu menawarkan tanah milik Haji Samsudin, tetangganya. Dia mendapat uang komisi, selanjutnya ketagihan. Seiring waktu kariernya sebagai calo berkembang. Koleganya ada di mana-mana. Pergaulannya luas. Sensasi pada pekerjaannya tentu ketika tanah yang dicaloinya terjual dan dia mendapat uang komisi. Sayangnya, bisnis jual jasa itu lebih banyak surutnya daripada pasangnya. Sering kali dalam sebulan bisnisnya tak ada yang meledak. Bahkan uang dengar dari jual beli yang dicaloi oleh koleganya pun tak ada.

Pada musim warga menjual sawah kepada pengembang perumahan dia pun kebagian berkahnya. Pendapatannya meningkat drastis. Kabar bahwa dia sempat menikah siri pun benar adanya. Namun tidak berlangsung lama karena dilabrak istrinya.

Demi dapurnya bisa ngebul apa pun dicaloinya, baik barang elektronik maupun kendaraan. Penghasilan yang tidak menentu dan lebih banyak nihilnya berimbas terhadap kesejahteraan  keluarganya. Beruntung dua anaknya telah lulus SMA dan menikah, sedangkan anak bungsunya masih duduk di kelas lima SD. Sumarti, istrinya, tentu saja dibuat pusing dan kerap berutang ke warung tetangga.

Sumarti pernah bekerja di pabrik boneka, tapi setelah tiga kali gajian pabriknya bangkrut.  Dicobanya juga berjualan pakaian dengan sistem pembayaran tunai dan kredit, tapi tak sampai setahun kemudian bangkrut akibat pembelinya tak sanggup membayar utang.


Belakangan ada lowongan pekerjaan khusus perempuan di pabrik garmen. Wirya  membantu menyiapkan persyaratannya. Tak mengalami kesulitan berarti, istrinya itu diterima. Dia pula yang mengantar-jemput istrinya bekerja. Bulan demi bulan keadaan ekonominya membaik, setidaknya tidak mengalami defisit keuangan yang ekstrem. Sementara itu, bisnis percaloan terus dijalaninya meski sering mengalami zonk.

Dari gaji yang diperolehnya Sumarti membeli sepeda motor secara kredit, sehingga Wirya tak perlu lagi mengantar jemput. Sebagai karyawati yang setiap bulan gajian tentu penampilannya tidak seperti perempuan rumahan pada umumnya. Wirya bangga dengan kecantikan istrinya yang sering dandan. Katanya, walau sudah beranak tiga penampilannya masih seperti anak muda dan modis. Hal itu diutarakannya kepada Mulyadi, sahabatnya. Mulyadi tak bisa menampik karena kenyataannya memang begitu.

Dengan menguasai sendiri sepeda motor pergerakan Sumarti bukan hanya dari rumah ke pabrik dan sebaliknya. Dia kerap pergi ke kediaman Ratri, seorang perempuan yang diakui sebagai temannya. Setelah mengetahui hal itu Wirya pun membiarkannya. Suatu ketika Sumarti meminta izin hendak main ke kontrakan Ratri.  Menjelang isya saat berada di kontrakan Ratri, Sumarti menelepon untuk minta izin karena terpaksa harus menginap dengan alasan membantu pekerjaan Ratri yang belum selesai. Wirya mengizinkannya. Pekan-pekan berikutnya Sumarti menjadi sering menginap di kontrakan Ratri dan tidak selalu seizin Wirya. Puncaknya, Sumarti menetap di kontrakan Ratri. Kandati Wirya memaksanya untuk pulang Sumarti menolak. Sumarti mengaku nyaman tinggal bersama Ratri.

Sebagaimana diketahui umum, hubungan keduanya tampak mesra, layaknya sepasang kekasih walaupun sesama perempuan. Tidak sedikit teman-teman kerjanya yang menyadari hal itu. Patut diduga ada yang tak wajar pada hubungan kedua perempuan itu.

Setelah beberapa kali gagal membujuknya agar Sumarti bersedia pulang tapi gagal, Wirya mencoba meminta bantuan kepada pihak keluarga Sumarti. Namun Sumarti bersikukuh dengan pendiriannya. Ketika Wirya mengancam akan menceraikannya Sumarti mempersilakannya.

Wirya meradang. Batinnya terpukul. Sungguh suatu kenyataan yang tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikirannya. Dia muak. Ingin rasanya dia menebas leher istrinya juga perempuan tomboy pasangannya. Namun dia tak berdaya.    

***

"Gila! Benar-benar gila. Masa iya perempuan selingkuh dengan perempuan. Najis!" Wirya melampiaskan kekecewaan dan rasa sakit hatinya. Dia ingin keluh kesahnya didengar siapa pun, tak peduli aib istrinya.

"Siapa?" Mulyadi pura-pura keheranan.

"Istriku. Kurang ajar dia! Aneh, selingkuhan kok sesama perempuan. Ni perempuanya, tampangnya tomboy, kayak laki-laki. Jelek pula, tampang kriminal." Wirya menunjukkan foto pada ponselnya. "Sudah aku temui istriku di kontrakan perempuan binal itu. Tidak mau pulang. Nyaman katanya. Gila! Pasti dipelet."

Lawan bicaranya mengangguk-ngangguk. "Tapi itu masih mending selingkuhannya perempuan Wir."

"Mending apanya? Tetap saja selingkuh. Mereka bisa melakukan adegan layaknya suami istri. Sungguh menjijikan. Tidak ada pilihan kacuali aku harus menceraikannya. Sudah habis kesabaranku Mul."

"Sudah lapor polisi belum?"

"Ah, percuma, mana mau polisi mengurusi masalah begituan."

"Kasihan anakmu Wir."

"Kalau bukan karena anak, sudah dari kemarin-kemarin aku ceraikan. Kasihan anakku, seperti anak ayam kehilangan induknya."

"Sabar dulu Wir. Biarkan saja kalau begitu. Barangkali dia sedang puber kedua. Tunggu saja sampai gejolak pubernya reda."

"Perempuan brengsek!"

"Maafkan aku Wir tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu. Kau tahu sendiri keadaanku. Kita laki-laki ini memang harus tetap waspada terhadap berbagai kemungkinan yang kita kira tidak mungkin. Seperti istrimu itu, kukira istri salehah, tapi kalau sudah seperti itu entah lenyap ke mana kasalehahannya. Begini Wir .....eeee.. tapi .... Sudahlah, tenangkan saja dirimu. Jaga kesehatanmu. Jangan telat makan." Mulyadi urung bicara lebih jauh. Dia ingin mengatakan bahwa sebagai suami Wirya juga perlu berintrospeksi. Namun dia khawatir Wirya belum siap menerima sarannya.   

***

Majelis taklim pekanan setiap Kamis di kediaman Ustadzah Khofifah dan majelis taklim bulanan keluarga besar setiap hari Ahad pekan pertama di rumah orang tua Wirya selalu tanpa kehadiran Sumarti. Dari situ pula kabar tentang Sumarti menyebar hingga ke seluruh penjuru kampung. Perilaku Sumarti yang terbilang aneh dan kurang waras menjadi buah bibir banyak orang.

Bagi Wirya, sahabatnya hanya Mulyadi yang enak diajak bicaranya dan mau memahami persoalan yang sedang dihadapinya.   

 "Kau tahu yang begitu namanya apa? Lesbi. Kalau si perempuan tomboy itu suka juga dengan laki-laki berarti biseksual. Punya kelainan. Dilaknat oleh Allah subhanahuwataala. Aku sudah minta bantuan ustaz Zufri agar si Sumarti sadar tapi tidak bisa, katanya sulit, sudah terlampau jauh. Mungkin mejiknya terlalu kuat, main dukun dia sehingga istriku sudah lupa diri. Bayangkan, dengan anak yang masih kecil di rumah dia tidak peduli. Disarankannya aku bertawakal. Sudah hampir delapan bulan ini. Istriku itu korban kedua, kalau si binal itu sudah bosan pasti ditinggalkan seperti perempuan sebelumnya. Tidak kusangka, dua puluh tahun kami berumah tangga, endingnya begini, gila."

"Aku turut prihatin. Terus apa rencanamu selanjutnya?"

"Terpaksa harus aku ceraikan. Harga dirilah. Kita ini laki-laki Mul, masih banyak perempuan baik-baik yang bersedia jadi istri setia asalkan ada ongkosnya.Tapi ini masalahnya anak Mul. Anakku masih membutuhkan ibunya. Menurutmu aku harus bagaimana Mul?"

"Sabar saja dulu. Ini cobaan. Badai pasti berlalu."

Ponselnya berdering, seseorang meneleponnya. "Sedang berada di kediaman Mulyadi ada perlu sedikit....... Hahahahaha, yang kemarin malam itu cuma teman biasa...... Betul janda. Anak dua........ Ya pasti cantiklah. Kalau gak cantik tak mau aku mengajaknya makan...... Kalau kamu mau ambil saja hahahaha.... Pasti kamu takut istri yah....... Kamu kerja saja yang baiklah..... Jaga baik-baik istrimu, jangan sampai seperti istriku, kepincut perempuan tomboy sampai sekarang belum juga sadar...... Soal mobil yang beberapa hari lalu, pemiliknya pasang harga satu enam lima. Coba cek lagi, kalau masih ada tawar seratus dua puluh..... Hah, sudah laku? .....Ya sudah kalau begitu. Bukan rezeki kita." Wirya menutup ponselnya.

Wirya melanjutkan obrolannya bersama Mulyadi. Pembicaraannya ngalor-ngidul. Dengan begitu beban batin menjadi lebih ringan. Mulyadi sudah memahami karakter sahabatnya itu. Setiap kali Wirya datang ke rumahnya tak lain hanya untuk keperluan curhat. Soal utang yang belum juga dibayarnya, Mulyadi tak lagi mempersoalkannya.

Bulan terus berganti. Kondisi rumahnya bertambah muram. Terlalu tipis kemungkinan Sumarti akan kembali, kecuali jika dia dicampakkan oleh pasangan yang digilainya. Wirya gamang, mengurus perceraiannya atau membiarkannya sampai Sumarti menemui karmanya. Jauh di lubuk hatinya, rasa kasihan terhadap ibu dari anak-anaknya tak dapat diabaikannya. Sedikit harapan Sumarti kembali ke rumah masih tersisa di hatinya. Jika sedang tak ada urusan pekerjaan Wirya selalu menemani si bungsu, menuruti ke manapun dia ingin pergi. Jika terpaksa dia harus pergi, si bungsu dititipkan di rumah adiknya.

Saat ibunya datang membawa jajanan untuk si bungsu seketika Wirya menangis memeluk ibunya. "Maafkan aku ibu. Aku banyak mengecewakan ibu."

Ditepuk-tepuknya bahu Wirya. "Sabarlah Nak. Barangkali ini sudah takdir hidupmu."

"Aku harus bagaimana Bu?"

"Mintalah ampunan dan perlindungan kepada Allah."

"Apa salahku Bu, begini amat nasibku?"

"Kamu sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala persoalan hidupmu. Kesalahanmu hanya kamu dan Allah yang tahu, selain yang kasat mata diketahui orang lain. Tidak perlu aku menyebutkan, khawatir salah. Barangkali ada yang turut menjadi musabab sehingga istrimu tak mau kembali ke rumah. Renungkanlah. Andai saja jodohmu sampai di situ, itulah takdirnya yang tidak bisa ditolak. Namun apa pun keputusanmu sekarang, diceraikan atau tidak, aku akan menghargai jika kau menganggap ikhtiarmu sudah maksimal. Istrimu itu, ibarat layangan putus talinya akibat kencangnya angin dan kerapuhan talinya, lalu tersangkut di kawat listrik yang kau tak mampu menjangkaunya. Tapi jangan putus asa, ini pasti ada hikmahnya."

"Ya. Terlalu banyak kesalahanku. Doakan aku bu."

"Tanpa kau minta, doa ibu tak pernah putus untuk anak yang mana pun."

Dalam beberapa hari Wirya tak pergi ke luar rumah. Ponselnya dimatikan. Kandatipun ada tamu dia tak lagi membicarakan perihal sepak terjang istrinya. Malam-malam tak dibiarkannya berlalu begitu saja. Dia lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan salat, muhasabah dan berdoa memohon ditunjukkan jalan terbaik atas masalah yang tengah dihadapinya.

Setelah beberapa hari, Wirya pergi ke kampung di seberang kali menemui mertuanya. Wirya meminta izin akan menceraikan Sumarti. Mertuanya pun memahami keputusan Wirya. Esok harinya Wirya meminta Haji Madrais, amil di kampungnya untuk mengantarnya mengurus perceraiannya ke pengadilan agama di Tigaraksa. Dia telah siap untuk menalak istrinya yang tak lagi mau hidup bersamanya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun