Bagimanapun, seperti diakui Raudal Tanjung Bauna, dalam Kata pengantar buku novel ini, Kiranya menarik melihat penjabaran novel Memburuh Kasih Perempuan Sampan ini, "Kemauan dan kemampuan Akib mengangkat marwah Orang Laut-sebutan untuk orang dari suku bangsa Persukuan yang hidup mengembara di lautan- dalam batas tertentu saya kira mendekati masalah nasib penghuni yang berlatar kampung di celah gunung atau pulau karang terutama terkait nasibnya yang tak pasti".
Bagaimana tidak? Dari segi kemampuan, Akib yang adalah suami dari Armita Thaib, S.Ag dan ayah dari Tiara Ayu Karmita, Safril Rahmat dan Sasqia Nurhasanah ini, bercerita dalam hantaran bahasa yang unik dan puitis.Â
Unik, demikian Raudal, karena bahasanya kental bercita rasa Melalyu, sehingga bahkan logat  ucap tokoh-tokohnya seperti lekat di daun kuping, dan untuk itu semua ia ceritakan dengan enak memasukkan kosakata setempat tanpa catatan kaki, boleh jadi ini efek "sihir" lingua-franca, atau hipnotis "rasa" bahasa.
Kita lihat saja pada sub," Sekali Merengkuh Dayung". Ini percakapannya," Lung, saya datang tanpa diundang.Saya membawa rombongan.Kami nak jumpa dan bincang-bincang perkara mustahak dengan Lung dan sesiape terbabit dengan Lung di sini", kata lelaki yang berjalan menuju pantai sebagai mewakili rombongan Asep
"Saya dah pun tahu, Wan. Anak saya Nyin sudah bicara semalam. Dan bukakah bersama Wan ada anak muda bernama Asep?" tanya ayah Nyaina sambil menyalami Wan. "Memang betullah adanya Lung.Dia sangat terdera oleh cintanya kepada Nyaina..."
Menyimak kosa-kata yang ada dalam penggalan di atas, pembaca atau penikmat rasanya pahami maksudnya meski ada kosa kata yang unik dan terasa pelik dipahami. Boleh jadi, itulah yang dimaksudkan Raudal Tanjung Banua dalam Kata Pengantar buku Novel ini, " terjadi efek "sihir" lingua-franca atau hipnotis "rasa" bahasa. Sehinga Raudal selanjutnya berujar," Lewat Licentia puitika semacam ini bahasa prosa Akib jadi terasa indah, puitis, sayup-sayup mengandung muatan pantun atau pepatah lama, namun sebenarnya menarasikan persoalan kekinian".
Orang-orang marginal itu, seperti diakui Raudal, isa berupa tenaga kerja yang terasing di negeri seberang, para pengungsi yang terdampar di sebuah pulau, dan dalam konteks tema utama cerita dalam novel ini, adalah perempuan sampan yang secara harafiah memang hidup di atas sampan. Lalu, terkait tidak dikenal masyarakat, karena mereka posisinya jauh dari pusat hingar-bingar kota.
Iya, orang laut, seperti diungkapkan Akib dalam novel ini, diutarakan sebagai orang yang berada di bawah ketiak orang-orang kota, dan siapakah orang Kota itu? Jawabannya tentu yang terdekat adalah Kota Batam. Bahkan Raudal menarasikan dalam Kata Pengantarnya, Orang Kota Batam yang dijuluki Pulau Kalajengking itu, namun oleh kapital modal ekonomi industrial , mereka(orang sampan) Â seolah dianggap tidak ada.