Mohon tunggu...
Usman Bima
Usman Bima Mohon Tunggu... Ilmuwan - profesi sebagai dosen tetap pada STIS Al-Ittihad Bima

Data Diri: Nama: Usman, M. Pd. Tempat tanggal Lahir: Bima, 31 Agustus 1981 Profesi: Dosen Tetap pada STIS Al-Ittihad Bima Hobi: Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsekuensi Memilih Pemimpin Menurut Islam

31 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 31 Agustus 2023   07:29 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Musliem News (Refleksi Kepemimpinan Islam)

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cerminâ” siapa mereka. 

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.

Sikap Rakyat terhadap Pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, “Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”. dan Q. S. At-Taubah (9): 129, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Konsekuensi Memilih Pemimpin

Memilih pemimpin berarti memilih sosok yang akan menjalankan tugas dan amanah kepemimpinan serta mengelola berbagai kebijakan, yang selanjutnya akan berdampak terhadap kondisi komunitas yang dipimpinnya, bisa berdampak positif atau negatif. 

Dampak positif dan negatif ini bisa berbuah pahala atau dosa karena bermanfaat atau merugikan orang lain. Sederhananya, memilih pemimpin bisa berdampak pahala atau beban dosa, karena ada dampak daripilihan yang dilakukan tersebut.Tentu ketentuan pahala dan dosa tersebut menurut ukuran Islam yang menentukan sebuah amal berbuah pahala atau dosa, seperti sengaja dalam memilih pemimpin yang membahayakan sementara ada pemimpin yang lebih baik, perbuatan tersebut bisa berbuah dosa begitu seterusnya.

Tetapi perbuatan seseorang bisa memberikan pengaruh dan dampak kepada orang lain. Seorang muslim akan berfikir panjang dan tidak akan meremehkan perbuatannya sekecil apapun apalagi jika perbuatan tersebut memiliki dampak dan pengaruh terhadap orang lain. Karena dampak dan pengaruh ini bisa berupa pahala atau bahkan dosa.

Memilih pemimpin sama halnya dengan memberikan kesaksian bahwa apa dan siapa yang dipilihnya itu adalah baik dan benar. Dalam Al-Qur’an Allah SWT memuliakan orang-orang yang menunaikan kesaksiannya. “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya”. (QS. Al-Ma’arij: 33). Ayat ini disebutkan dalam konteks pembahasan ciri orang-orang yang dianugerahkan Allah keteguhan mental, jiwanya relatif stabil dalam menghadapi berbagai kondisi baik senang maupun susah. Keteguhan mental tersebut juga dicirikan dengan keteguhan dalam memberikan kesaksian. Ada hikmah tersendiri ketika Allah SWT memakai kata-kata “qaaimuun” dari kata “qiyam” (mendirikan atau menegakkan) bukan kata “adaa’” (menunaikan atau memberikan).Menegakkan bukan sekedar menunaikan.

Menegakkan kesaksian ada kalanya memerlukan keberanian dan ketegasan. Karena kadangkala berbagai faktor bisa memalingkan seseorang dari menunaikan kesaksian yang sebenarnya. Dalam konteks pemilihan pemimpin, secara riil masih sering ditemukan, seseorang yang memberikan “kesaksian” atau suara, atau bahkan mendustakan “kesaksiannya” lantaran faktor materi yang diraihnya, tanpa memikirkan tanggungjawab serta dampak dari perbuatannya tersebut. Lantaran uang atau janji-janji materi lainnya, idealisme dalam memberikan kesaksian bisa runtuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun