Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKB dan Daulat Pangan Melalui BUMDes

4 Mei 2020   17:27 Diperbarui: 5 Mei 2020   22:20 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jelang bulan Ramadan lalu, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) melakukan aksi sosial yang keluar dari kebiasaan, yakni membeli ribuan ayam langsung dari peternak kemudian didistribusikan langsung kepada korban PKH akibat pandemi Covid-19 di Jakarta. Baik peternak ayam maupun korban terkena PHK sama-sama masyarakat yang terkena dampak langsung pandemi Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  yang diberlakukan pemerintah sama-sama mengimbas keduanya.

Pertama, harga ayam di tingkat peternak anjlok karena menurunnya nilai beli masyarakat sementara biaya produksi tidak berimbang dengan harga jual. Kedua, tidak sedikit pekerja yang terpaksa dirumahkan (PHK) perusahaan karena produktifitas usahanya terus menurun dan tidak mampu menggaji karyawan.

Penulis kira, aksi sosial PKB yang tidak biasa ini patut diacungi dua jempol karena pada saat yang bersamaan bisa memberikan manfaat dan maslahat terhadap dua sektor usaha masyarakat demi mempertahankan penghidupannya, yakni peternak dan buruh perusahaan. Bila tidak diberi uluran tangan, keduanya bisa tidak bisa menikmati makan.

Aksi sosial PKB diluar kebiasaan lainnya disuarakan di parlemen, dimana PKB meminta pemerintah untuk membuat kebijakan membeli langsung produk pangan petani, kemudian diberikan kepada masyarakat secara gratis sebagai upaya meringankan beban mereka dalam pemenuhan pangan keluarga di tengah pandemi Covid-19.

Pandangan PKB pun diluar kebiasaan bahkan belum pernah disuarakan partai lain,  dengan memakai asumsi bila negara membeli 3 juta ton gabah petani dengan harga Rp 4.200 per kilogram dengan anggaran sebesar Rp12,6 triliun akan mencukupi kebutuhan beras 195 juta penduduk untuk satu bulan. Bila dianggap kurang untuk memenugi 260 juta lebih penduduk, tinggal ditambah perkaliannya.

Pandangan ini penulis kira sangat realistis, karena dari sisi anggaran bila pemerintah berniat membeli gabah petani memiliki peluang untuk dimasukkan dalam rencana penambahan anggaran Rp1.000 triliun. Memprioritaskan Rp. 12,6 triliun untuk membuat warga negara bertahan hidup selama satu bulan tidak sulit tentunya, itu pun bila ada kemauan.


Bila betul program ini dilakukan pemerintah, pada saat yang sama akan berimplikasi positif terhadap naiknya intensitas perputaran ekonomi di desa yang dibarengi  dengan tingginya semangat petani untuk tak henti bercocok tanam. Apalagi bagi mereka yang selama ini mencari nafkah di kota (urban), terlebih disaat pandemi Covid-19 ini.

Tidak berhenti disini, legislator PKB di DPR RI tidak pernah berhenti menyuarakan kepentingan pangan, baik dari sisi kepentingan kesejahteraan petani maupun pemenuhan pangan warga negara. Yang terbaru terkait pemotongan anggran Badan Ketahanan Pangan sebersar Rp. 45,6 miliar untuk pos pengentasan daerah rentan rawan pangan serta stunting.

Cuitan Gus Muhaimin melalui akun twitter pribadinya @cakiminNOW: Baleg @DPR_RI mbok didengarkan bahaya ini .. yang dimention ke akun twitter @CucunA44 @FraksiPKB @idafauziyah pada tanggal 30 April yang merespon cuitan akun @IdhamArsyad_GT: Omnibus Law Kubur Cita-cita Indonesia Berdaulat Pangan adalah indikasi kuat bahwa PKB senantiasa memperjuangankan kepentingan warga negara disektor pangan.

Kedaulatan Pangan

Andreas Maryoto (2009), dalam bukunya: Jejak Pangan, Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan yang dikutip Prof. Murdijati Gardjito dalam bukunya Manifest Boga Indonesia menjelaskan bahwa: selama masa Majapahit, ekspor beras sudah dilakukan. Berlanjut pada masa Kesultanan Yogyakarta. Baru pada pertengahan abad 19, sejak diberlakukannya tanam paksa mulai terjadi kelaparan seperti di Cirebon akibat konversi sawah menjadi perkebunan.

Problem kemiskinan dan pangan di Indonesia sejak lepas dari cengkraman penjajah Belanda tahun 1945 hingga kini tidak pernah kunjung terpecahkan, sektor ini selalu saja ambruk. Meskipun diera orde baru pernah alami swa sembada beras, namum petani tidak pernah menikmati insentifnya.

Kelirunya kebijakan pangan menurut Prof. Murdijati Gardjito (ahli pangan UGM) paling tidak dimulai sejak tahun 1990 ketika kebijakan pemerintah diarahkan kepada konsumen, supllier dunia (kapilatis global) dan petani rugi berefek pada rendahnya nilai upah buruh. Akibatnya swasembada beras berubah menjadi pengimpor pangan hingga detik ini.

Negeri agraris yang kaya raya dan pengekspor pangan tiba-tiba berubah menjadi pengimpor. Salah satu indikator pendukungnya adalah karena stok pangan nasional hanya bertumpu kepada beras, ditambah mengabaikan keanekaragaman sumber pangan karbohidrat non beras.

Kebijakan pangan kita melulu inkonsisten, kedaulatan pangan hanya lipstik. Negara agraris, tanahnya subur bak tanah surga, tongkat kayu pun bisa berubah menjadi tanaman tetapi hasil pertaniannya tida bisa mencukupi penduduknya, tambah aneh bukan!

Yang lebih miris lagi, petani tidak memiliki lahan, hak sosial ekonominya dirampas, dipinggirkan oleh arus besar kapitalisme dengan aturan internasional perdagangan bebas (free trade) dan tekanan-tekanan lainnya. Semuanya hanya menambah panjang mimpi petani kaya raya saja, tidak lebih.

Perjanjian perdagangan multilateral selalu saja berjalan dengan tidak fair, dan hanya menguntungkan para pemburu rente kelas kakap hingga kelas teri sekalipun. Merekalah yang kemudian mengendalikan pasokan kebutuhan, ketersediaan komoditas pangan dan harganya.

Program kemandirian pangan yang digulirkan pemerintah dengan menekankan lima komoditas trategis seperti: padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi tidak pernah menuai hasil. Selalu berujung pada impor.

Semetara itu, potensi jenis pangan unggulan seperti ubi kayu, sagu, pisang, ubi kuning, sukun dan umbi-umbian  tidak pernah menjadi program strategis pemerintah yang kemudian harus dikembangankan pemerintah daerah hingga pemerintah desa. Problemnya petani kita selalu miskin disebabkan: harga gabah yang selalu rendah, tingkat produktifitas yang rendah, rata-rata lahan yang sempit, dan tingginya biaya produksi.

Dari kekayaan sumber daya alam, ditambanh dengan keanekaragaman produk pangan yang dimiliki diperkuat dengan kebijakan pemerintah yang berorientasi utuh terhadap pengembangan kekayaan pangan sendiri sejatinya Indonesia sudah bisa lepas dari ketergantungan impor  produk pangan.

Cuitan Gus Muhaimin tadi adalah wujud ikhtiar kuat PKB wujudkan kedaulatan pangan untuk keluar dari jebakan yang menggiring bangsa ini senantiasa bergantung  kepada "ritual" impor pangan mulai dari beras, gandum, kedelai, gula, daging, buah-buahan dan lainnya sebagaimana tercamtum dalam RUU Cipta Kerja/Omnibus Law bidang pangan sedang dibahas DPR dan pemerintah yang "melawan" pasal 1 ayat 7 UU. Pangan No. 18 Tahun 2012.

BUMDes  Pangan

Ditengah situasi pandemi global Covid-19 seperti akhir-akhir ini, desa menjadi pilar utama, tumpuan dan harapan penduduk negeri dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangannya. Pada sisi yang lain, menjadi momentum terbaik meningkatkan semangat masyarakat yang "pulang kampung" untuk bercocok tanam, beternak, berbudidaya ikan dan menjadi nelayan di desa, tidak lagi kembali ke kota.

Pada saat yang sama, peluang desa menciptakan lumbung pangan bagi penduduk desa dan penduduk sekitarnya semakin besar. Satu sama lain desa saling mengisi kekurangan kebutuhan pangan sehingga perlahan melahirkan net working usaha atau jaringan kerja yang berujung pada naiknya pendapatan warga.  

Bila disupport dengan regulasi yang jelas, penulis membayangkan kedepan desa yang didukung dengan keanegaragaman  produksi pangan dan jejaring usaha serta jejaring kerjanya akan menciptakan sistem yang bisa mengendalikan produk  dan harga pangannya. Karena problem usaha pertanian, peternakan dan perikanan kita selalu berujung pada pasca panen. Mereka seringkali dihantui anjloknya harga yang dimainkan oleh para pemburu rente.

Dalam konteks ini, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)  pangan menjadi solusi terkait problem pangan kita yang belum terpecahkan. Kelak, BUMDes  pangan dengan modal usaha dari dana desalah yang membeli semua produk pangan di desa baik yang berasal dari pertanian, perikanan dan kelautan maupun peternakan, bukan Bulog.

Permendesa No. 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, seyogyanya diterapkan sepenuhnya oleh desa dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes  sebagai badan usaha, dimana seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa.

BUMDes sejatinya merupakan bentuk penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa serta merupakan alat pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi yang ada di desa, wabilkhusus produk pangan. Dari 42.000 unit yang terbentuk, nampaknya belum ada BUMDes yang fokus usahanya pada bidang pangan.

BUMDes  sejatinya menjadi tulang punggung perekonomian pemerintahan desa guna mencapai peningkatan kesejahteraan warganya dengan basis usaha seuai dengan potensi produk pertanian, perikanan, kelautan dan peternakan yang dimiliki. Tapi bagaimana jadinya bila bisnis BUMDes hanya dalam bentuk usaha potokopi atau kelontongan. Entahlah!

Data hasil Survei BPS terkait Profil Pasar Tahun 2018, pasar tradisional yang berjumlah 14.182 pasar. Ini indikator bahwa masyarakat masih bergantung pada kearifan budaya pasar tradisional. Bila fungsi bisnisnya berjalan dengan baik, BUMDes  memiliki peran strategis dan menjadi garda terdepan menjaga stabilitas harga pangan di pasaran.

Bila PKB ngomong BUMDes pangan wajar, karena Menteri Desa adalah kadernya. Bila PKB ingin menguatkan BUMDes dibidang pangan semata-mata ikhtiar ingin mengurai problem harga produk pertanian yang selalu tidak terkendali di pasar karena masih kuatnya sistem ijon. Lebih dari itu melepaskan diri dari jeratan "ritual" impor.

Cuitan Gus Muhaimin di twitter mengandung pesan instruksi terhadap para punggawa dan stakeholder PKB di parlemen maupun di eksekutif. Bahwa urusan "perut" rakyat dan kesejahteraan petani jangan pernah berhenti diperjuangkan, kedaulatan pangan adalah milik mereka. Wallahu'alam bi ash-showab.


Penulis adalah pengurus di Dewan Pengurus Nasional Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan (Gerbang Tani)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun