Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semilir Angin di Bulan Lalu dan Aku Tak Tahu

20 Juli 2021   10:18 Diperbarui: 20 Juli 2021   10:20 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana kabarnya? Siapa korbannya? Siapa penculiknya? Di mana dia sekarang? Rentetan tanya telah berbaris memenuhi isi kepalaku. Satu demi satu kekhawatiran, bercampur menyerukan suaranya. Aku tak mampu lagi membendung kecewa, tapi mataku belum sanggup untuk menangis. Tuhan hanya ada namanya di dalam hatiku.

Aku pergi ke tempat dimana dia bekerja untuk memastikan keselamatannya. Akan tetapi, mereka juga tidak tahu yang pasti. Hanya berusaha menenangkanku untuk duduk bersandar dan menghela nafas panjang. 

Tidak sampai di situ, aku melanjutkan pencarianku sampai ke pihak berwajib, menelpon pihak perlindungan, dan segala macam upaya kulalui agar dapat menemukannya. Mungkin, saat itu aku hanya berharap untuknya kembali memenuhi janji. Janji akan bertemu di sini dan bersama-sama menjaga anak kami.

Dinginnya malam membekukan bibirku dan mematikan asa yang kutanam sedari dulu. Pelukan rembulan tak dapat kurasakan akhir-akhir ini. Langit terlihat murung dan bintang juga enggan untuk bertegur sapa denganku. Apakah semuanya akan pergi tanpa pamit? Hanya temaram lampu rumah sakit yang berwarna kuning, senantiasa menemani penantianku. Sembari menunggui kotak surat yang tak kunjung terisi penuh dan mencari secarik surat darinya.

"Ma, kapan kita pulang dari tempat ini? Oh iya Ma, aku bermimpi tentang papa. Papa terlihat bahagia dalam mimpiku. Mengenakan pakaian kerjanya yang berwarna biru, tapi papa sangat jauh Ma, tidak sanggup kujangkau dengan tangan. Akhirnya, kami hanya berbalas senyum dengan menyudutkan rasa satu sama lain..."

"Apakah papa ingat aku ya ma, di luar sana. Mungkin, dia sedang menyiapkan hadiah ulang tahunku ya Ma..."


Matahari belum sampai ke puncak kedudukannya, tapi ia sudah dipanggil lagi untuk kembali ke ufuknya. Cuaca saat itu, memang sangat mendung. Semilir angin juga berhembus kencang melalui celah jendela yang kubuka sedikit. Keadaan rumah sakit sedang ramai, dari semalam sudah ada lima ambulance yang bergantian menurunkan pasien. 

Disertai iringan langkah kaki yang terburu-buru. Di antaranya ada satu ambulance yang berpapasan denganku. Kulihat, ambulance itu membawa seorang pasien, keadaannya terlihat sangat parah karena langsung dilarikan ke ruang ICU. Kebetulan, ruangan itu bersebelahan dengan kamar anakku.

Hari ini aku dan anakku, berencana untuk mendatanginya kembali. Percaya atau tidak, bulan ini adalah peringatan ketiga untuknya. Anakku begitu bersemangat untuk pergi, dari pagi ia sibuk merapikan bajunya dan menyiapkan suatu kotak kecil. Kotak kecil yang telah menghabiskan banyak waktunya selama seminggu terakhir. Padahal, baru sebulan yang lalu ia kembali ke rumah ini. Setelah, sebelumnya dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu yang cukup lama. Aku tak tahu, apa yang ada dalam kotak kecil itu, mungkin saja sangat istimewa untuknya.

"Pa, hari ini kita bertemu lagi. Aku juga membawakan hadiah untuk papa karena papa sudah datang untuk menjaga dan menengokku selama ini. Gelang rajut ini sebagai tanda pertemanan kita ya, Pa. Sekarang, aku sudah bisa membuat gelang rajut sendiri, nanti sore aku akan membuatnya lagi untuk mama..."

Siapa sangka, semilir angin di bulan itu menjadi akhir dari kami. Awal kehidupan yang baru untuk aku dan anakku. Pasien yang berpapasan denganku di koridor rumah sakit, tak lain adalah dirinya yang telah koma. Aku tak tahu, Tuhan mempertemukan kami kembali dengan cara seperti ini, tapi ia benar dia kembali untuk menepati janji dan bertemu lagi di tempat yang sama seperti hari kemarin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun