Di antara beberapa buku non-fiksi karya penulis local yang menjadi best seller adalah Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring. Konon, buku ini sampai Agustus 2023 sudah dicetak 300.000 eksemplar, dan di tahun 2019 dinobatkan sebagai Book of the Year di Indonesia International Book Fair. Luar biasa bukan?
Filosofi Teras salah satu buku selfimprovement terbaik asal Indonesia yang mengangkat filosofi Stoisisme dalam bahasa seharihari. Buku ini mencoba menerjemahkan konsep Stoisisme -- mazhab filsafat YunaniRomawi kuno -- agar relevan dan praktis untuk generasi milenial dan Gen Z masa kini.
Fokus utamanya adalah dua konsep: stoisisme, yang menekankan hidup bijak, emosi terkontrol, dan fokus hanya pada hal yang bisa kita kendalikan; serta dikotomi kendali antara apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan.
Buku ini menjadi best seller, mengalami cetak ulang 50 kali, karena isinya dianggap relevan dan juga aplikatif untuk pembaca modern. Cocok banget buat yang ingin belajar mengelola kecemasan atau menguatkan mental.
Artikel yang saya tulis ini tidak akan mengulas tentang stoisisme secara khusus, tapi akan menghubungkannya dengan konsep takwa yang dipahami dalam Islam.
Saat ini kita hidup di zaman yang serba cepat. Banyak orang kehilangan arah, bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu banyak jalan dan terlalu sedikit pegangan. Di tengah kesemrawutan hidup itu, konsep seperti takwa kadang terdengar kuno. Berat. Jauh. Atau sekadar jadi slogan tanpa kedalaman.
Tapi bagaimana jika kita melihat takwa dari sudut yang berbeda?
Bagaimana jika kita mengurai takwa dengan pendekatan sederhana, tapi tetap menjaga kedalaman maknanya?
Dalam salah satu kajian spiritual, saya menemukan penjelasan menarik, bahwa kata takwa (taqwa) bisa dilihat sebagai akronim yang merepresentasikan tiga dimensi penting, yaitu: T (takut), Q (qonaah/merasa cukup), dan W (wara/hati-hati).
Tentu saja, ini bukan definisi formal seperti yang ditulis Imam Ibn Rajab atau Ibn Qayyim, melainkan cara reflektif untuk menyelami taqwa secara praktis dan manusiawi. Karena sesungguhnya, taqwa bukanlah sesuatu yang statis, melainkan perjalanan batin yang terus bertumbuh.