Di suatu pagi yang cerah, Lukman memutuskan untuk pergi ke pasar hewan. Ia berencana menjual keledainya yang sudah terlalu tua untuk bekerja di ladang. Dengan langkah mantap, ia mengajak anak laki-lakinya, Amir, yang baru berusia 15 tahun, untuk menemani. Mereka berdua berjalan pelan, menuntun keledai yang tampak lelah, seolah merasakan perasaan mereka.
Mereka melangkah dengan tenang. Di tengah perjalanan, mereka melewati sekelompok orang yang sedang duduk di pinggir jalan. Salah satu dari mereka melihat Lukman dan Amir dan langsung berkomentar, "Alangkah bodohnya ayah dan anak itu, kenapa tidak dinaiki saja keledai itu?"
Lukman dan Amir saling berpandangan. Tidak ada yang berkata sepatah kata pun. Dengan senyum tipis, Lukman akhirnya memutuskan, "Ya sudah, nak, coba kau naik keledai itu. Kita lanjutkan perjalanan."
Amir dengan semangat langsung menaiki keledai, dan Lukman melanjutkan perjalanan sambil menuntun keledai dari sisi lain. Belum lama kemudian, mereka mendengar suara lain dari arah belakang.
"Dasar anak durhaka!" teriak seseorang, "Dia enak-enak naik keledai sementara ayahnya jalan kaki!"
Lukman kembali menatap Amir. Kali ini mereka berdua terdiam. Sebagai seorang ayah bijaksana, Lukman berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, nak, turun dulu. Aku yang akan naik keledai sekarang." Amir pun turun dengan perasaan bingung, dan Lukman melanjutkan perjalanan dengan duduk di punggung keledai, meninggalkan anaknya yang berjalan di samping.
Tak lama kemudian, terdengar suara lain dari seseorang yang tampaknya merasa sangat berhak mengomentari keadaan mereka. "Sungguh orangtua yang egois," kata orang itu. "Anaknya disuruh jalan kaki, sementara dia enak-enak naik keledai."
Kali ini, Lukman menghela napas panjang. Ia berhenti sejenak, menatap Amir yang tampak semakin bingung. "Kita sudah cukup mendengar komentar orang," katanya sambil tersenyum, "Sekarang, kita coba cara yang lain."
Lukman menyuruh Amir untuk naik keledai bersama dengannya. Mereka berdua pun duduk bersama di punggung keledai, melanjutkan perjalanan menuju pasar. Namun, seperti biasa, perjalanan mereka kembali disertai dengan suara-suara komentar yang mengundang tawa. Tiba-tiba terdengar teriakan dari seorang wanita yang sedang lewat, "Sungguh ayah dan anak itu tidak punya perasaan! Keledai sekecil itu dinaiki berdua. Kasihan sekali keledainya!"
Lukman berhenti dan tersenyum lebar. "Lihat, Nak, apa yang kita dapatkan?" katanya kepada Amir. "Kita tak bisa menerima semua pendapat orang, apalagi mencoba menyenangkan hati setiap orang. Setiap orang punya persepsinya sendiri, dan mereka akan selalu punya cara mereka untuk menilai kita."