Mohon tunggu...
Urip Nurhayat
Urip Nurhayat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Mental, "Legacy" Seorang Leader

2 September 2018   21:36 Diperbarui: 2 September 2018   21:49 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa Revolusi Mental tidak berjalan dengan lancar? 

Sama halnya dengan Tol Laut, menteri-menteri terkait kurang memahami konsep Revolusi Mental ini dengan baik sehingga bisa tidak dapat berkontribusi banyak. Jika saja Revolusi Mental ini dijadikan Program Stategis Nasional maka para menteri terkait akan mudah menterjemahkan menjadi sub-sub program yang executable.

Peradaban Bangsa 

Sejak dahulu kala, konon bangsa kita berperadaban tinggi yang memiliki sifat sopan santun, ramah tamah, tenggang rasa, dan tepok seliro. Namun demikian, pada intensitas tertentu, sifat tepok seliro ini menjadi racun yang mampu membunuh peradaban bangsa karena telah disalah-artikan menjadi toleransi terhadap pelanggaran-pelanggaran minor. 

Dalam jangka panjang, sedikit demi sedikit toleransi ini lama-lama menjadi bukit yang permisif terhadap berbagai pelanggaran. Tepok seliro yang salah kaprah ini menjadi kontributor utama terhadap masifnya pelanggaran kecil hingga korupsi yang membudaya. 

Revolusi mental yang dimaksud Presiden Jokowi dalam arti sederhana adalah: kita harus berhenti menjadi bangsa yang "toleran dan pemaaf" terhadap pelanggaran hukum, aturan, dan norma. Mulailah dengan penegakan terhadap pelanggaran-pelanggaran minor sehingga tidak menjadi massif dan kemudian dianggap sebagai budaya. 

Lalu lintas merupakan cara yang paling mudah untuk mengukur kemajuan budaya dan peradaban sebuah bangsa karena semua undang-undang dan peraturannya dituangkan dalam bentuk rambu-rambu, marka, lampu lalu lintas, dan lain-lain. Keberadaan aturan ini sangat mudah terlihat. Demikian halnya jika terjadi pelanggaran pun akan sangat mudah terdeteksi tanpa memerlukan investigasi. 

Sebagai contoh, Di negara-negara (yang peradabannya) maju, pemisahan arus berlawanan cukup dengan marka dua garis kuning sejajar tidak terputus. Sementara di negara yang masih memerlukan Revolusi Mental, Dinas Perhubungan harus mengeluarkan dana lebih banyak dari sekedar mengecat aspal, mereka harus membuat pemisah berupa beton 30 centimeter untuk "menegaskan" pemisahan jalur. Betapa peradaban itu mahal harganya. 

Seandainya saja, kita tidak salah kaprah mengartikan tepok seliro, mungkin peradaban bangsa ini beberapa dekade lebih maju. 

Seandainya saja tiap orang menjalankan perannya masing-masing dengan benar, tukang ojek yang peduli dengan keselamatan pelanggannya tidak akan mudah diminta melanggar oleh penumpangnya. Demikian halnya aparat, yang bertugas mengatur kelancaran dan menciptakan lalu lintas yang safe, tidak akan tepok seliro terhadap pelanggaran, bahkan untuk pelanggaran "minor" sekalipun.

Jadi jangan bermimpi memberantas korupsi kalau kita masih menyalahartikan tepok seliro, compromise, dan toleransi dengan pelanggaran "minor". Jangan pula bermimpi untuk menjadi bangsa yang bermartabat sejajar dengan Negara-negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun