Sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan kebijakan, terutama dalam dekade terakhir, dengan hadirnya berbagai program seperti Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka. Namun, perubahan tersebut sering kali lebih menonjol di tingkat administratif daripada transformatif di ruang kelas. Guru dihadapkan pada tumpukan formulir, laporan, dan asesmen yang kompleks, sehingga waktu dan energi yang seharusnya difokuskan pada pembelajaran justru tersedot oleh beban administratif (Suryadi, 2022).
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan reflektif: apakah pendidikan kita benar-benar berorientasi pada pembelajaran, atau sekadar kepatuhan terhadap sistem birokrasi? Sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara (1936), pendidikan semestinya "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya." Namun, ketika guru lebih banyak "menuntaskan" administrasi daripada menuntun murid, esensi pendidikan mulai terdistorsi.
Pendidikan Humanistik
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh bersifat "banking system" --- di mana guru sekadar "menyimpan" pengetahuan dalam diri siswa yang pasif. Sebaliknya, pendidikan harus membebaskan, dialogis, dan kritis. Pandangan ini selaras dengan Gert Biesta (2010) yang menekankan tiga fungsi pendidikan: qualification (pembekalan keterampilan), socialization (pembentukan warga), dan subjectification (pembentukan subjek yang otonom).
Namun dalam praktik di Indonesia, fungsi subjectification kerap terpinggirkan oleh orientasi administratif, akreditasi, dan capaian numerik (Susanti, 2023). Akibatnya, pembelajaran kehilangan makna reflektif dan transformasionalnya.
Birokratisasi Pendidikan
Penelitian oleh Mulyasa (2021) menunjukkan bahwa guru di Indonesia menghabiskan lebih dari 30% waktu kerjanya untuk administrasi pembelajaran. Fenomena ini disebut "administrative overload" --- kondisi di mana profesionalitas guru diukur dari kelengkapan dokumen, bukan kualitas interaksi edukatif.
Sementara itu, Tilaar (2004) menegaskan bahwa birokrasi pendidikan yang terlalu sentralistik menciptakan "pendidikan yang teralienasi dari masyarakatnya sendiri." Dengan kata lain, sekolah lebih sibuk memenuhi format daripada memahami konteks.
Paradoks "Merdeka Belajar"
Program Merdeka Belajar secara konseptual menekankan kebebasan guru dan siswa dalam menentukan arah pembelajaran. Namun, implementasinya sering kali terperangkap dalam regulasi yang ketat dan sistem pelaporan daring yang rumit. Akibatnya, kebebasan yang dijanjikan hanya sebatas wacana.