Mengurai Akar Masalah
Dari dua kasus itu, kita bisa melihat akar dari praktik perundungan ini. Secara struktural, banyak sekolah tidak memiliki mekanisme pengaduan yang jelas. Peran dan tanggung jawab guru seringkali kabur, dan penilaian kinerja cenderung menekankan aspek individual dibanding kerja tim.
Budaya organisasi juga turut menyuburkan praktik ini. Hierarki yang kaku, nilai senioritas yang berlebihan, serta ketergantungan pada norma informal menjadikan lingkungan kerja penuh tekanan diam-diam. Minimnya pemahaman tentang etika komunikasi dan kesehatan psikologis semakin memperparah situasi.
Dampaknya jelas: semangat kerja menurun, kolaborasi antar guru terganggu, dan banyak yang mengalami burnout bahkan gangguan psikologis jangka panjang.
Saatnya Bergerak: Membangun Sekolah yang Sehat
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Secara struktural, sekolah perlu memiliki kode etik yang tegas terhadap segala bentuk perundungan. Kanal pelaporan harus anonim dan independen. Penilaian kerja sebaiknya mengedepankan kontribusi kolektif, bukan hanya hasil individu.
Secara kultural, penting untuk membangun budaya reflektif melalui supervisi yang sehat dan dialog terbuka. Audit sosial tahunan terhadap iklim kerja bisa membantu mengidentifikasi titik-titik rawan konflik.
Dalam pendidikan guru, pelatihan kecerdasan emosional dan etika profesional perlu menjadi bagian dari kurikulum PPG maupun pelatihan berkelanjutan. Lembaga seperti Ombudsman Pendidikan atau LPSDP bisa diajak bekerja sama untuk memberikan pendampingan atau mediasi saat terjadi konflik.
Sekolah sebagai Komunitas, Bukan Arena Kuasa
Perundungan antarguru bukan hanya masalah pribadi atau konflik biasa. Ia merupakan gejala dari ketegangan sistemik yang lebih dalam dalam dunia pendidikan kita. Karena itu, upaya penanganannya pun tidak bisa setengah-setengah. Harus menyeluruh, mencakup aspek struktur, budaya, dan pendidikan berkelanjutan.