Dalam dunia Islam, cara manusia memperoleh pengetahuan tidak hanya dipandang dari sisi logika dan pengalaman saja, tapi juga dari sisi batin dan spiritual. Tiga pendekatan utama sering dibicarakan: akal (rasional), indera (empiris), dan intuisi ilahiah (revelatif). Artikel ini mencoba menjelaskan bagaimana ketiga pendekatan tersebut berkembang dalam tradisi keilmuan Islam, serta bagaimana semuanya bisa saling melengkapi.
Para tokoh besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali sejak dulu sudah merumuskan bagaimana akal dan pengalaman bisa membantu manusia memahami dunia. Di sisi lain, para pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mulyadhi Kartanegara menekankan pentingnya menyatukan ilmu lahir dan batin---antara logika dan kebijaksanaan hati. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam tidak kaku dalam memandang sumber ilmu. Justru, ia membuka ruang bagi integrasi antara nalar, pengalaman, dan pengetahuan spiritual.
Kata Kunci: epistemologi Islam, rasionalisme, empirisme, intuisi, ilmu laduni, integrasi ilmu
Epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan batas-batas pengetahuan. Dalam tradisi Islam, diskursus epistemologi tidak hanya melibatkan akal dan pengalaman inderawi, tetapi juga dimensi ilahiah yang bersifat intuitif dan revelatif. Hal ini mencerminkan kekayaan tradisi intelektual Islam yang tidak bersifat reduktif.
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 282 mengisyaratkan pentingnya akal dan pencatatan sebagai sarana memperoleh ilmu: "...dan janganlah kamu merasa bosan menulisnya, baik kecil maupun besar, sampai batas waktunya..." Sedangkan QS. Al-Kahfi: 65 merujuk pada ilmu laduni: "dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Maka, muncul pertanyaan filosofis: bagaimana epistemologi Islam memandang hubungan antara akal (rasionalisme), indera (empirisme), dan intuisi (revelasi dan ilham)?
Epistemologi Rasional
Rasionalisme menekankan peran akal sebagai sumber utama pengetahuan. Dalam Islam, Al-Farabi dan Ibnu Sina merupakan tokoh rasionalis yang membangun sistem pengetahuan berbasis logika dan silogisme. Menurut Al-Farabi, "akal aktif" (al-'aql al-fa''l) adalah sarana pencerahan intelektual manusia. Ibnu Sina menegaskan bahwa akal dapat mencapai kebenaran mutlak melalui deduksi dan kontemplasi.
Epistemologi Empiris
Empirisme menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dalal sempat meragukan keandalan indera, namun kemudian mengakui bahwa indera merupakan bagian penting dari tahap awal pencapaian pengetahuan, meskipun tidak sempurna tanpa akal dan cahaya ilahi.