Di tengah arus komunikasi digital yang serba cepat, cara seorang pejabat menyampaikan pesan sering kali menjadi penentu apakah sebuah kebijakan dapat diterima atau justru menuai kontroversi. Beberapa minggu terakhir, publik kembali gaduh karena pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar tentang guru yang dinilai kurang tepat konteksnya, disusul ucapan Menteri Keuangan Purbaya mengenai demo tuntutan masyarakat yang dianggap meremehkan aspirasi rakyat. Dua contoh ini hanyalah potret kecil dari sekian banyak momen ketika ucapan pejabat justru menjadi bahan polemik, bukan instrumen penjelas kebijakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kualitas public speaking pejabat kita benar-benar sudah berada pada level yang layak, atau justru kian darurat?
Public speaking bukan hanya soal bagaimana mengucapkan kata-kata dengan jelas. Ia adalah seni sekaligus strategi komunikasi, yang memadukan logika, empati, dan retorika. Seorang pejabat publik semestinya paham bahwa setiap kalimat yang keluar dari mulutnya tidak lagi bersifat pribadi, melainkan representasi negara. Apalagi di era media sosial, satu kalimat bisa dipelintir, dipotong, lalu viral tanpa konteks. Dalam kondisi demikian, kesiapan berbicara di depan publik menjadi krusial. Sayangnya, dari banyak peristiwa, terlihat bahwa pejabat kita masih kerap tergelincir karena kurangnya penguasaan pesan, ketidaksensitifan terhadap audiens, hingga lemahnya keterampilan retorika.
Mari kita bayangkan: pemerintah dan DPR saat ini sedang ditunggu-tunggu responsnya terkait 17+8 tuntutan rakyat yang sudah bergema di berbagai daerah. Namun, alih-alih meredam keresahan publik dengan penjelasan yang empatik, beberapa pejabat justru mengeluarkan pernyataan yang membuat masyarakat semakin geram. Di sinilah terlihat jelas gap besar antara kebutuhan publik untuk mendapatkan penjelasan yang menenangkan, dengan kemampuan pejabat dalam mengelola komunikasi. Bukannya membangun jembatan kepercayaan, ucapan-ucapan mereka justru menjadi jurang pemisah.
Jika harus memberi skor, menurut banyak pengamat dan warga yang aktif mengikuti dinamika komunikasi pejabat, nilai kemampuan public speaking pejabat kita mungkin masih berkisar masih jauh dari angka 7 dalam skala nilai tertinggi 10. Angka ini tentu saja bukan penilaian akademis, melainkan gambaran dari sentimen publik yang sering kali merasa jengkel, kecewa, atau bahkan tidak percaya lagi pada pesan yang disampaikan pejabat. Ada sebagian kecil pejabat yang memiliki kemampuan cukup baik---mampu bicara terstruktur, memberi penjelasan yang menenangkan, serta menyelipkan empati---namun jumlahnya kalah jauh dibanding yang sering tergelincir ucapan.
Public speaking pejabat sejatinya tidak bisa dilepaskan dari tiga hal utama: substansi kebijakan, gaya penyampaian, dan sensitivitas sosial. Substansi adalah isi pesan, apakah kebijakan yang disampaikan jelas, terukur, dan masuk akal. Gaya penyampaian menyangkut cara berbicara: intonasi, pilihan diksi, gestur tubuh, hingga ekspresi wajah. Sementara sensitivitas sosial adalah kemampuan membaca kondisi psikologis audiens, sehingga pejabat tahu kapan harus tegas, kapan harus lembut, dan kapan harus memberi ruang dialog. Dari tiga aspek ini, yang paling sering bermasalah pada pejabat kita adalah sensitivitas sosial. Banyak yang terlalu kaku, atau justru sembrono dengan kata-kata, sehingga publik merasa diremehkan.
Pertanyaannya, bagaimana agar hal-hal seperti ini tidak terus berulang dan menimbulkan efek domino pada reaksi masyarakat? Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan. Pertama, pejabat perlu didampingi oleh tim komunikasi yang andal. Di banyak negara maju, speechwriter atau penulis pidato merupakan profesi penting yang membantu memastikan pesan pejabat konsisten, jelas, dan tepat sasaran. Indonesia pun semestinya memberi ruang lebih besar pada profesi ini. Namun, sekadar memiliki penulis pidato belum cukup. Pejabat tetap harus dilatih cara membawakannya agar tidak terdengar sekadar membaca teks, melainkan berbicara dari hati dengan penuh keyakinan.
Kedua, perlu adanya pelatihan ulang public speaking bagi para pejabat, baik yang baru menjabat maupun yang sudah lama duduk di kursi kekuasaan. Pelatihan ini tidak hanya tentang teknik vokal atau intonasi, tetapi juga simulasi menghadapi situasi krisis, keterampilan merespons pertanyaan wartawan, hingga latihan improvisasi ketika dihadapkan pada massa yang marah. Banyak pejabat kita tampak kaku ketika berbicara di depan publik, seolah takut salah ucap, padahal kekakuan itu sendiri membuat pesan mereka tidak sampai.
Ketiga, penguatan literasi komunikasi publik. Setiap pejabat semestinya menyadari bahwa publik kini jauh lebih kritis, berkat akses informasi yang luas. Kalimat yang dulu mungkin bisa diterima tanpa pertanyaan, kini akan segera ditelusuri, diperdebatkan, bahkan dipatahkan oleh warganet hanya dalam hitungan menit. Dengan kondisi demikian, pejabat tidak bisa lagi menggunakan gaya komunikasi yang feodal atau penuh jargon, melainkan harus lebih transparan, lugas, dan terbuka pada kritik.
Sebagai perbandingan, dalam dunia kehumasan atau profesi public speaker, pelatihan yang dilakukan biasanya berlapis. Pertama adalah latihan artikulasi, agar setiap kata terdengar jelas. Lalu latihan intonasi. supaya nada suara tidak monoton, tetapi mampu memberi tekanan pada poin-poin penting. Setelah itu ada latihan bahasa tubuh, karena gestur, kontak mata, dan ekspresi wajah akan sangat menentukan apakah audiens merasa dekat atau justru terintimidasi. Selain itu, public speaker profesional juga dilatih mengendalikan emosi, menjaga kecepatan berbicara, serta menggunakan storytelling agar pesan lebih mudah diingat. Semua ini bisa dipelajari pejabat jika mereka mau serius berlatih, karena menjadi pemimpin publik berarti juga menjadi komunikator publik.
Bagi Kompasianer yang bekerja di dunia kehumasan, tentu paham betul bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membangun persepsi. Sekali seorang pejabat tergelincir ucapan, efeknya bisa panjang: dari munculnya meme di media sosial, turunnya tingkat kepercayaan, hingga meningkatnya eskalasi protes. Dalam jangka panjang, kegagalan komunikasi bisa meruntuhkan legitimasi kebijakan, meski substansinya sebenarnya baik. Karena itu, public speaking bukan pelengkap, melainkan bagian inti dari kepemimpinan.
Bayangkan jika dalam isu 17+8 tuntutan rakyat, pejabat mampu tampil dengan bahasa yang jernih, lugas, dan penuh empati. Alih-alih berkata "demo ini tidak perlu karena tuntutan tidak realistis", seorang pejabat bisa mengatakan, "Kami memahami keresahan masyarakat, tuntutan ini akan kami kaji secara serius, dan pemerintah berkomitmen mencari solusi terbaik agar tidak merugikan siapapun." Dua kalimat ini mungkin menyampaikan substansi yang sama, tetapi nuansa emosionalnya jauh berbeda. Yang pertama memicu resistensi, sementara yang kedua membuka ruang dialog.