Tiba-tiba percakapan via media sosial terjeda. Sungguh sangat mengherankan. Kenapa mereka tidak punya jawaban? Padahal sebelumnya berbicara berapi-api melalui pesan whatsup-nya. Itu terjadi berkali-kali dan didapatkan dari sumber yang berbeda.
"Ah, ternyata mereka cuma sedekah like di akun media sosial penulis pemula ini sobat".
"Thank you atas sumbangannya." Tawa hampa pun bergema dalam ruang pikiran.
Hal yang sama terjadi ketika ada pihak yang mengejek untaian kata yang sudah dirangkai mati-matian.
Ketika ditanya siapa nama tokoh yang disebut dalam artikel yang sedang diejeknya? Mereka tak bisa segera menjawab. Minta saran perbaikan pun tak digubrisnya.
Butuh waktu untuk memperoleh jawaban. Padahal status masih online. Kenapa pembicaraan tiba-tiba terhenti. Tak selancar pesan ejekan yang baru saja dihadiahkannya.
Apa mereka baru akan membaca untaian kata penulis pemula ini? Ketika pertanyaan tak terduga muncul dari pemilik tulisan yang dihinanya?
Sejak saat itu, sebagai penulis pemula saya mulai menata hati. Berupaya agar tak terpengaruh dengan kicauan yang mengundang nestapa pada diri.
Buang saja semua ocehan yang akan mematikan potensi. Jangan terlalu bahagia menerima pujian yang melenakan.Â
Karena, belum tentu mereka yang telah menabur pujian atau menyematkan hinaan itu sudah membaca karya tulis kita dengan saksama. Entah itu membaca sekilas ataupun membaca penuh penghayatan.
Mari sama-sama belajar mengelola pujian dan kritikan tajam sekalipun dengan porsi biasa saja. Agar tak mudah melambung lalu terhempaskan. Itu sangat menyakitkan.