"Ini ya Dek, hati-hati minumnya," aku hanya mengingatkan.
Si sulung tentu sudah lebih mengerti. Membawa pun menikmati secangkir cokelat merupakan hal mudah yang tak harus diingati. Bagaimana seharusnya, dia sudah cukup memahami.
Nah, dua balita ini yang masih harus diawasi. Apalagi air hangat tentu riskan jikalau menyiram badan. Mengkhawatirkan. Namun dua pasukan kecil rupanya tak ingin emaknya mencampuri urusan.
"Aku bisa kok Bu, dikipas kan? Tak boleh ditiup kan?" begitulah mereka menuai jawaban jikalau diingatkan. Baik. Aku percayakan.
Aku kembali meneruskan tugas kenegaraan. Membuat menu. Yup. Begitu kerap terhenti di tengah jalan. Terkadang belum matang sudah kuletakkan. Sesaat kemudian kulanjutkan. Selesainya? Entah kapan.
"Ibuu...," dudududu mereka kembali memanggilku. Tuh kan.
"Minumnya tumpah sedikit," teriaknya kemudian.
"Sini deh Bu," panggilan kesayangan yang sedemikian menggoda pendengaran. Mewajibkanku menghampiri. Lagi.
Kuletakkan tugasku kembali. Ini yang kesekian kali. Uhuy. Bergerak menghampiri adalah hal yang mereka ingini. Emak wara wiri, itu sudah bukan cerita lagi. Namun nyata terjadi. Hehe.
Dan.... What! Seketika pandanganku tertuju pada satu titik ruang itu. Lantai. Ya. Sejenak kutatap lantai, kemana dua cangkir cokelat yang kuletak di sana tadi? Pikirku dalam hati.
Tetiba aku melihat dua pasukan kecil tertawa di ujung meja. Dan dua cangkir cokelat sudah berpindah tempat rupanya. Kini berada di dekat jendela yang terbuka.