Butiran itu menerpa wajahku. Saat kulaju kendaraan di terik nan biru. Sangat mengganggu. Tentu. Deru polusi menambah pesona nan menjauhkan dari satu kata, "nyaman". Kurasakan hawa yang terlepas pada rangkaian kesejukkan.
Hembusan sang bayu coba palingkan dari sisa dedaunan. Kiranya semakin membuatnya kegirangan. Tak kuasa diri melawan  hempasan yang kuat menerjang. Sungguh malang.
Laju kendaraan pun tak bisa kukendalikan. Mataku terhempas butiran nan beterbangan. Rupanya hari sudah tak aman tuk dijadikan kawan.
Hiasan kemarau, kerap membuat galau. Seakan hilang keramahan pun memupuk kegelisahan. Bumi tak kunjung basah. Kering, hingga menyeruak gundah.
Kemanakah mereka yang dulu singgah? Ya, si hijau penghalau resah. Entahlah. Kota semakin gerah. Si hijau tersingkir bangunan megah.
Dengan segala rupa warna. Pun manfaat yang dibawa. Kiranya si hijau kerap dilupa hadirnya. Disibukkan dengan pembangunan gedung dimana mana. Jika hiasan kemarau tiba, barulah rindukan mereka.
Hiasan kemarau, tak mungkin dihentikan. Dalam alunan cuaca yang kian merasuk ruang kepenatan. Kering sekujur raga. Ah, kurasa ini tak hanya dirasa mata.
Hiasan makin menerpa pun mendera. Tak peduli siapa yang dihadapnya. Menyapa semesta dengan bangga. Pada akhirnya polusi menjadi momok utama.
Di sisi yang berbeda, si hijau begitu merdu lantunkan sajak nan menyejukkan. Hiasan kemarau pun mampu diredakan. Merupakan penyeimbang alam yang bisa diandalkan. Saat hiasan kemarau datang, bergelayut keraguan. Pun gemuruh kebimbangan. Si hijaulah yang kerap memberi kepastian. Hingga hadir kesejukkan di tengah kekeringan panjang.
Hiasan kemarau tak bisa dielakkan. Di tengah gejolak musim yang datang bergantian. Sebab tlah jadi bagian dari siklus yang telah digariskan. Manusia hanya bisa berusaha meredakan. Dan si hijaulah pilihan hebat untuk melawan.
Dulu, si hijau kokoh berdiri. Di tengah kota pun di tepi nan sunyi. Keanggunannya menyemai kesegaran alami. Kini, gedunglah yang jadi saksi. Hiasan kemarau pun semakin gencar merajai.