Mohon tunggu...
Andik Lukman Hakim
Andik Lukman Hakim Mohon Tunggu... -

Cuber. Coffee Addict

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hidup Nggak Se-simple Rubik

29 November 2010   16:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

6 warna. 6 sisi yang berbeda.  Bisa berputar ke segala arah. Depan. Belakang. Samping. Terbungkus dalam suatu bentuk tiga dimensi berwujud kubus. Bila sudah teracak, belum tentu sembarang orang bisa mengembalikannya ke bentuk dan formasi warna seperti semula. Untuk menyelesaikannya ada rumus yang biasa disebut algoritma. Algoritma ini berupa gerakan-gerakan yang sudah pasti menghasilkan formasi warna yang diinginkan. Metode untuk menyelesaikan pun bermacam-macam. Dari mulai yang beginner sampai yang advanced. Semua itu bisa dihapal dan dipelajari. Tidak butuh waktu lama. Penyelesaiannya pasti. Bahkan seorang teman bisa menyelesaikan dalam waktu 5 detik. Seorang teman yang lain menjadi pemegang rekor dunia untuk penyelesaian dengan mata tertutup.

Hidup memang tak se-simple rubik.

Tapi beberapa pelajaran berharga saya dapatkan ketika memaknai rubik sebagai kehidupan. Tak ada metode yang pasti dalam hidup. Semua bisa berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan. Kadang terpaksa. Kadang sukarela.

Sering saya bertemu dengan teman awam yang meragukan kemampuan saya bermain rubik. Seolah saya tak akan pernah mampu menyelesaikannya. Setelah saya solving, barulah mereka percaya. Sedalam itukah orang meng-underestimate saya dalam menjalani hidup? Hampir tak ada yang mau percaya pada saya. Semua menyalahkan. Tertekan dan terbebani. Tapi ini bukan saatnya mengeluh. Ini saatnya membuktikan bahwa saya bisa. Pembuktian yang akan membungkam mereka.

Ketika saya diburu waktu untuk solving dengan cepat, catatan waktu yang saya dapatkan malah  jelek. Mengecewakan. Ketika solving dengan santai dan mengalir begitu saja, tak jarang saya bisa sub-20 detik. Terdorong oleh intuisi. Ketika emosi tak tertahankan dan diperparah oleh nafsu yang menggebu maka ujung dari semua itu adalah kehilangan dan penyesalan. Saat akal sehat yang menuntun, tak jarang kepuasan yang didapat-meski tak selalu.

Bermain rubik blindfolded (mata tertutup) terdiri dari 2 fase. Fase pertama adalah memorisasi, yaitu mengenali dan mengingat posisi setiap cubies untuk kemudian diselesaikan. Fase kedua adalah eksekusi, yaitu mengembalikan posisi cubies pada posisi aslinya dengan mata tertutup. Saat bermain blindfolded, seringkali saya sudah sangat yakin dengan memorisasi saya. Kemudian saya dengan pedenya menutup mata dan mulai memainkan rubik dengan mata tertutup. Namun begitu penutup mata dibuka sering saya mendapatkan DNF (Did Not Finish). Kecewa? Tentu saja. Masalah yang sudah pasti dan saya tahu bagaimana menyelesaikannya saja banyak yang berujung kecewa. Apalagi yang belum pasti? Apalagi yang belum saya tahu? Kenali lebih dalam masalah, namun jangan terlalu lama. Hidup bukan hanya untuk satu masalah saja. Tapi masalah ada bukan untuk tidak diselesaikan.

Bagai dua sisi koin yang berbeda namun satu. Rubik dan hidup.

Ya, hidup memang tidak se-simple main rubik. Tapi rubik mampu mewakili sebagian hidup saya. Seakan saya bernafas dengannya dalam setiap putarannya.

Pangkalpinang, 5 April 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun