Kompasianer, menghadapi tes calon mertua itu ibaratnya menghadapi HRD dalam interview lamaran kerja. Kalau HRD menilai kesesuaian kandidat dengan budaya dan kebutuhan perusahaan, sedangkan calon mertua memiliki harapan atau kriteria tertentu tentang pasangan anaknya dengan keluarga mereka. Pastinya, ada calon menantu yang berhasil melewati tahapan seleksi dan diterima. Tapi ada juga yang gagal total alias ditolak. Contohnya adalah saya.
Saya Calon Menantu yang Dulu Ditolak.
Flashback ke masa muda saya dulu. Saya pacaran dengan cowok sekampus tapi beda prodi dan dia diwisuda duluan. Ketika dia diwisuda keluarga besarnya datang: Ayah, ibu dan kakak beserta adiknya, lengkap. Lalu saya diperkenalkan melalui acara makan makan.
Di sini interview berlangsung. Pertanyaan seputar latar belakang keluarga saya, semua saya jawab dengan jujur apa adanya. Saya berasal dari keluarga sederhana yang biasa saja.
Sikap Ayahnya baik, tetapi ibu dan saudara-saudaranya rada cuek. Memang sih, calon mertua ketus itu tidak selalu tersirat dari ucapannya langsung, tapi dari sikap dan raut wajah Ibunya, sudah cukup jelas.
Saat itu saya merasa bahwa nilai saya di mata mereka minus, tidak masuk kriteria sebagai calon menantu harapan. Status sosial keluarga calon mertua yang lebih tinggi menempatkan saya lebih rendah daripada mereka.
Menghadapi kenyataan ini, saya cukup lama berpikir, mempertimbangkan untuk tinggalin atau lanjut hubungan.
Sampai akhirnya saya mengambil keputusan untuk berpisah baik-baik, bukan berarti saya mudah menyerah, tapi lebih pada menjaga harga diri, dan mencegah terjadinya konflik pasangan dengan keluarga besarnya gegara saya.
Ibu saya pernah berkata," menikah itu ibaratkan kamu teken kontrak seumur hidup bersama pasangan dan juga keluarganya."
Nah, kalau calon mertua sudah memasang tembok penghalang, apa gunanya hubungan kami dilanjutkan. Kepada si dia saya memberi gambaran bahwa tanpa restu orangtua hubungan kami tidak akan berhasil. Selagi kebersamaan kami belum terlalu jauh, lebih baik putus saja. Deal!