Subuh yang dingin. Bukan suara adzan yang membuatku melempar selimut, tapi jeritan histeris tetangga.
"Dasar pelakor!"
Wah, pasti ia menemukan chat mesra suaminya di WA, atau facebook. Apalagi tak berapa lama terdengar suara lemparan piring dan tangisan anaknya yang masih balita.
Wah, kurang ajar benar tuh pelakor! Beruntung aku memiliki suami yang setia dan selalu betah di rumah. Dia nggak mungkinlah tergoda pelakor, senyumku bangga.
Siangnya, aku ketemu Jeng Rini, tetangga sebelah yang tadi pagi ribut-ribut masalah pelakor. Ia membeli sesuatu di kantong plastik warna hitam.
"Habis beli apa, Jeng?"
"Racun tikus, buat ngracun pelakor!" sahutnya tersenyum penuh dendam. Aku bergidik ngeri. Segitu parahkah, hingga ia nekat mau membunuh orang?
Malamnya, mataku nyalang tak bisa dipejamkan. Pikiranku kacau tak karuan. Telingaku sibuk mencuri dengar bunyi paling lembut sekalipun dari rumah sebelah. Kenapa rumah yang biasanya berisik itu mendadak sunyi senyap? Jangan-jangan Jeng Rini sedang memasak sesuatu untuk diumpankan kepada perempuan perusak rumah tangganya itu?
Pagi harinya aku kembali dikejutkan oleh suara jeritan dari rumah sebelah. Kali ini suara Jono, suami Rini.
"Riniiii, cepat nyalakan lampu, aku menginjak sesuatu di dapur."
"Modiar koe pelakor!"