Secara kodrat, manusia itu diberikan akal dan nafsu yang berimbang. Akan tetapi, pada praktiknya justru nafsu yang lebih berat dibanding akal. Inilah yang membuat perilaku manusia semakin terperosok ke lubang jarum, sekali terperosok akan sulit untuk kembali.
Hanya ada satu hal yang mendasari ini semua yaitu perkara dorongan nafsu yang berasal dari hati. Dorongan nafsu ini berasal dari bisikan setan yang suka menghasut manusia. Dari sinilah benih-benih ambisi dalam meraih keinginan duniawi mulai tumbuh.Â
Kita bisa lihat betapa banyaknya orang yang berebut harta, tahta, dan wanita demi menuruti keinginan hawa nafsu semata. Coba kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang yang menapaki jalan kebenaran dan kesederhanaan tanpa memandang gemerlapnya dunia.
Kejar-kejaran di Dunia
Hasrat manusia tidak akan pernah merasa puas dan pasti ingin sesuatu yang lebih baik dari pada yang dimilikinya sekarang. Itulah sebabnya mengapa manusia itu disebut makhluk yang sering melampaui batas. Mereka mengejar keinginan demi memenuhi gengsi atau sekedar mengikuti perkembangan zaman tanpa melihat baik buruknya dampak yang akan terjadi.
Mayoritas dari mereka hanya sibuk mengejar kedudukan atas nama kekayaan dan eksistensi duniawi. Padahal, kepastian akan ada saatnya di mana kaki mulai lelah dan tubuh mulai rapuh lalu, kedudukan itu akan jatuh. Yang tersisa hanya sebuah penyesalan yang berkepanjangan. Entah mengapa manusia merasa biasa-biasa saja padahal tahu jika penyesalan pasti akan datang nanti di akhir.Â
Betapa lucunya mereka yang masih bisa tertawa di atas kursi padahal kursinya sudah merapuh. Pepatah jawa berkata "wong salah bakale seleh" artinya orang yang melakukan kesalahan pasti akan mendapatkan imbal balik berupa penyesalan dan pembalasan.
Akan tetapi, manusia tetap saja tak mau dibantah dan merasa benar bahkan, sombong terhadap pinjaman yang dimilikinya sekarang. Dia tak sadar bahwa, pinjaman berupa harta, kedudukan, dan keluarga pasti akan diminta cepat atau lambat oleh pemiliknya yaitu Allah.
Seperti itulah bentuk manusia modern zaman sekarang, bila diberikan kekurangan dia meminta lebih. Setelah mendapatkan kecukupan malah dia sendiri yang melupa siapa pemberinya dulu.
Orang jawa menyebutnya dielu-elu maksudnya jika diberikan kecukupan yang berlebih untuk menguji akankah dia lupa siapa yang memberi atau malah dia berikan hartanya untuk orang-orang yang kekurangan? Nah, di sinilah letak ujian yang kuat menguasai diri kita.