Mohon tunggu...
Umi NurBaity
Umi NurBaity Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serabutan

Man jadda wa jadda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prahara Kursi Emas

24 November 2020   14:09 Diperbarui: 24 November 2020   15:22 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekuasaan diunduh dari freepik.com 

Secara kodrat, manusia itu diberikan akal dan nafsu yang berimbang. Akan tetapi, pada praktiknya justru nafsu yang lebih berat dibanding akal. Inilah yang membuat perilaku manusia semakin terperosok ke lubang jarum, sekali terperosok akan sulit untuk kembali.

Hanya ada satu hal yang mendasari ini semua yaitu perkara dorongan nafsu yang berasal dari hati. Dorongan nafsu ini berasal dari bisikan setan yang suka menghasut manusia. Dari sinilah benih-benih ambisi dalam meraih keinginan duniawi mulai tumbuh. 

Kita bisa lihat betapa banyaknya orang yang berebut harta, tahta, dan wanita demi menuruti keinginan hawa nafsu semata. Coba kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang yang menapaki jalan kebenaran dan kesederhanaan tanpa memandang gemerlapnya dunia.

Kejar-kejaran di Dunia

Hasrat manusia tidak akan pernah merasa puas dan pasti ingin sesuatu yang lebih baik dari pada yang dimilikinya sekarang. Itulah sebabnya mengapa manusia itu disebut makhluk yang sering melampaui batas. Mereka mengejar keinginan demi memenuhi gengsi atau sekedar mengikuti perkembangan zaman tanpa melihat baik buruknya dampak yang akan terjadi.

Mayoritas dari mereka hanya sibuk mengejar kedudukan atas nama kekayaan dan eksistensi duniawi. Padahal, kepastian akan ada saatnya di mana kaki mulai lelah dan tubuh mulai rapuh lalu, kedudukan itu akan jatuh. Yang tersisa hanya sebuah penyesalan yang berkepanjangan. Entah mengapa manusia merasa biasa-biasa saja padahal tahu jika penyesalan pasti akan datang nanti di akhir. 

Betapa lucunya mereka yang masih bisa tertawa di atas kursi padahal kursinya sudah merapuh. Pepatah jawa berkata "wong salah bakale seleh" artinya orang yang melakukan kesalahan pasti akan mendapatkan imbal balik berupa penyesalan dan pembalasan.

Akan tetapi, manusia tetap saja tak mau dibantah dan merasa benar bahkan, sombong terhadap pinjaman yang dimilikinya sekarang. Dia tak sadar bahwa, pinjaman berupa harta, kedudukan, dan keluarga pasti akan diminta cepat atau lambat oleh pemiliknya yaitu Allah.

Seperti itulah bentuk manusia modern zaman sekarang, bila diberikan kekurangan dia meminta lebih. Setelah mendapatkan kecukupan malah dia sendiri yang melupa siapa pemberinya dulu.

Orang jawa menyebutnya dielu-elu maksudnya jika diberikan kecukupan yang berlebih untuk menguji akankah dia lupa siapa yang memberi atau malah dia berikan hartanya untuk orang-orang yang kekurangan? Nah, di sinilah letak ujian yang kuat menguasai diri kita.

Apakah kita akan mengikuti nafsu ataukah memprioritaskan orang lain dahulu? Dari sini bisa kita nilai diri kita masing-masing, sudahkah kita menjadi sosok manusia sejati yang bisa mengendalikan nafsu ataukah belum?

Rebutan Kursi

Kedudukan dianggap menjadi hal yang istimewa di mata masyarakat. Tentunya hal ini memanjakan mata agar orang-orang berebut mendudukinya. Seribu satu cara dilakukan hanya demi sebuah kursi kekuasaan berlabel emas. Tak lain tak bukan politic money menjadi jurus andalan yang paling ampuh menyihir semua kalangan.

Tak heran jika masyarakat terdidik dengan kegilaan harta, tahta, dan wanita guna memenuhi hasrat saja. Secara tak langsung hal ini bisa menyebabkan degradasi moral yang sering dikutuk berbagai kalangan. Pada praktiknya justru politic money dilanggengkan sepanjang zaman bahkan, tidak pernah disinggung ketegasan akan hal ini.

Akhir-akhir ini Indonesia sedang memanas akibat berbagai masalah dan isu yang tak berujung. Hal ini disebabkan karena ambisi manusia yang kesetanan terhadap kekuasaan. Tak heran jika adu perang di kolom komentar sosial media semakin membanjiri layar kaca.

Fakta membuktikan bahwa ambisi terhadap kekuasaan ini bisa meruntuhkan ikatan persaudaraan bahkan, menyebabkan perpecahan. Hal ini tentunya akan melemahkan integrasi bangsa yang sejak dulu menjadi tonggak jati diri bangsa. Apalagi di saat pandemi yang semakin mewabah ini seharusnya sikap tenggang rasa dan kepedulian antarsesama lebih ditingkatkan.

Tidak perlu saling menuding, menghujat, membungkam, orang lain yang berbeda golongan dengan kita. Entah berasal dari partai mana, golongan apa, organisasi apa saja, yang terpenting kerukunan antarsesama bisa harmonis.

Jangan hanya karena perebutan kursi, jadi melupakan jalinan kerukunan dan ketenteraman di masyarakat. Apalagi kita akan memasuki pemilu yang akan dilaksanakan Desember tahun ini. Berbeda pilihan boleh saja asalkan persaudaraan tidak dihiraukan begitu saja.

Salam satu pena

Gembul Can

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun