Mohon tunggu...
Umi Nadhira
Umi Nadhira Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga pejuang keluarga harmonis

Suka masak untuk dinikmati orang-orang tercinta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Barak Militer untuk Anak Nakal, Dilatih Jadi Garda Bela Negara?

1 Mei 2025   21:10 Diperbarui: 1 Mei 2025   20:32 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelatihan bela negara untuk para pelajar (Sumber: smanegeri1kayen.sch.id)

Program Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mulai diberlakukan pada 2 Mei 2025 untuk mengirim anak-anak yang terlibat geng motor, tawuran, atau yang sulit ditangani orangtua maupun sekolah dikirim ke barak militer, telah menuai banyak perhatian. Dukungan pun datang dari Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan. Meskipun terlihat radikal, kebijakan ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai bentuk ikhtiar menyelamatkan generasi muda dari jurang kehancuran moral dan sosial.

Kebijakan ini lahir dari kenyataan pahit bahwa sistem pendidikan dan pengasuhan di rumah mulai kehilangan daya tahan dalam menghadapi perilaku menyimpang remaja. Tawuran pelajar, geng motor liar, dan aksi kekerasan remaja kini bukan lagi fenomena kota besar, melainkan telah menyebar dari Depok, Bogor, Bandung hingga kota-kota kecil. Nama-nama geng seperti Kreak di Semarang mencerminkan adanya kebanggaan semu atas kekerasan sebagai identitas kelompok.

Secara sosiologis, remaja yang terlibat dalam kekerasan biasanya berasal dari latar belakang sosial yang penuh tekanan, baik di keluarga maupun lingkungan. Ketiadaan figur panutan, lemahnya kontrol sosial, dan minimnya ruang aktualisasi positif membuat sebagian remaja mencari eksistensi lewat cara destruktif. Mereka tidak butuh dihukum secara fisik, melainkan dibimbing untuk merekonstruksi jati diri dan arah hidupnya.

Di sinilah barak militer tidak boleh dipahami semata sebagai ruang hukuman, melainkan sebagai ruang terapi sosial. Seperti dalam prinsip sosiologi Erving Goffman tentang total institution, lingkungan militer yang serba terstruktur dapat menciptakan disrupsi pola hidup lama remaja dan memberi peluang terbentuknya identitas baru yang lebih disiplin, terarah, dan nasionalis.

Namun, dari sudut pandang psikologi perkembangan, pendekatan ini harus tetap berlandaskan empati dan kesadaran membimbing, bukan memaksa. Remaja adalah makhluk pencari makna. Menurut teori introspeksi diri, setiap individu memiliki kapasitas untuk menyadari kesalahan dan mengubah perilakunya ketika diberi ruang refleksi yang tepat. Pelatihan militer harus menyisipkan sesi dialog batin, pembinaan mental, dan pembelajaran nilai kehidupan.

Anak nakal bukan musuh bangsa, tapi generasi yang tersesat arah. Barak militer bukan penjara, melainkan tempat mereka belajar arti disiplin, harga diri, dan cinta tanah air sebagai modal penting menuju Indonesia Emas 2045.

Mental block negatif yang terbangun dari pengalaman traumatis masa kecil, tekanan sosial, hingga kegagalan sistem pendidikan dapat diurai secara bertahap jika remaja dilatih mengenali emosinya, memahami kekuatan dirinya, dan diberi narasi baru tentang masa depannya. Maka, para pelatih di barak militer perlu bekerja sama dengan psikolog, guru, dan tokoh agama untuk menanamkan makna bela negara bukan sebagai doktrin, tapi sebagai kesadaran pribadi.

Bela negara tidak identik dengan mengangkat senjata. Bagi remaja, bela negara bisa bermakna sederhana, yaitu tidak merusak fasilitas publik, tidak membuat onar, dan tidak menyakiti sesama. Ini adalah fondasi etika publik yang semestinya sudah ditanam sejak usia dini namun sering luput oleh sistem pengasuhan dan pendidikan kita yang terlalu menekankan prestasi akademik.

Kita menghadapi dilema bonus demografi. Jumlah remaja melimpah, namun arah hidup mereka banyak yang tidak jelas. Jika energi muda ini salah salur, maka bukan Indonesia Emas 2045 yang kita dapat, melainkan Indonesia Krisis Moral 2045. Barak militer bisa menjadi sarana transisi, bukan tujuan akhir. Fungsinya adalah menjernihkan kembali pikiran remaja yang telah keruh akibat lingkungan yang toksik.

Orangtua yang menyerahkan anaknya ke program ini bukan berarti gagal, justru menunjukkan keberanian mengambil langkah ekstrem demi masa depan anaknya. Sekolah yang menyerahkan siswanya juga patut diapresiasi karena telah bersikap realistis, karena tidak semua anak bisa dibentuk hanya lewat papan tulis dan nilai rapor.

Namun demikian, pemerintah daerah perlu mengawasi dan mengevaluasi program ini secara berkala. Tidak boleh ada kekerasan fisik atau praktik militer yang mempermalukan anak. Tujuan utama tetaplah rehabilitasi karakter, bukan balas dendam atas ketidaktertiban sosial. Di sinilah pentingnya pendekatan psikologi perkembangan yang humanis dan mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun