Mohon tunggu...
Umi Fitria
Umi Fitria Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary Me

Seorang Ibu, wanita, teman, partner yang selalu ingin membuka hati dan pikiran untuk belajar tentang hidup. visit my blog on https://www.simpelmommy.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masih Relevankah Menghukum Murid saat Kegiatan Belajar di Dalam Kelas?

13 Juni 2022   11:16 Diperbarui: 13 Juni 2022   13:12 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah tatap muka (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Saat menulis judul di atas, kenangan saya kembali ke masa-masa sekolah dasar, salah satu masa sekolah yang paling saya ingat dalam hidup saya karena kalau kebanyakan orang mereka paling berkesan saat masa-masa SMA saya justru terbalik.

Saya sangat berkesan justru saat masa enam tahun di sekolah dasar, karena saya menjadi anak-anak yang sangat menikmati masa kecilnya di zaman itu.

Namun tidak berarti semua berjalan mulus dan lancar tanpa hambatan selama enam tahun masa sekolah saya.

Justru setelah dewasa ini, saat kita sudah lebih sering bercakap dengan diri sendiri dan sesekali melakukan refleksi perjalanan hidup mundur di masa lalu untuk melihat kembali satu atau dua hal pelajaran hidup yang bisa kita petik.

Justru ternyata ada beberapa momen atau peristiwa yang sangat jelas terekam di memori saya yang bisa jadi hal ini juga menjadi penyebab salah satu insecurity yang saya rasakan saat saya beranjak remaja.

Gaya belajar mengajar zaman dulu

Seperti yang kita semua pernah alami, kurikulum dan sistem pendidikan di zaman dulu memang masih menerapkan sistem pendidikan dan pengajaran yang didominasi oleh model pengajaran satu arah, di mana guru sebagai subyek utama sumber ilmu dan murid sebagai obyek atau sasaran pengajaran. 

Model atau tata kelas pada masa itu juga masih sangat kaku dan formal ya, di mana ada papan tulis di depan kelas, meja dan kursi guru di sampingnya, dan meja kursi murid berjajar membentuk barisan di seberang meja tulis guru.

Dari sisi susunan interiornya saja sudah sangat terlihat jelas ya sistem aristokratnya, di mana guru memiliki nilai superioritas yang lebih tinggi dibanding murid.

Entah kalau jaman sekarang apakah modeling kelasnya masih sama seperti saat saya masih sekolah apakah sudah di-design demikian rupa untuk mengutamakan kenyamanan dan keguyuban, saya pribadi juga belum pernah melihatnya secara langsung.

Dari sisi interior dan tata letak kita sudah bisa tahu makna dan pesan tersirat yang kita tangkap, selanjutnya dari sisi cara mengajar pun.

Pada zaman dulu para guru sangat menerapkan yang namanya maju ke depan untuk menyelesaikan soal setelah sang guru selesai memberikan penjelasan terkait mata pelajaran yang diajarkan. 

Biasanya para guru akan menulis di papan beberapa subjek atau tema pelajaran dan secara satu arah atau monolog mulai berbicara panjang lebar untuk menjelaskan ke murid-murid dan para murid diharapkan untuk duduk tenang dan rapi serta mendengarkan dan tidak boleh berisik saat guru menerangkan. 

Ilustrasi by Freepik
Ilustrasi by Freepik

Setelah selesai sang guru akan membuka sesi tanya jawab apabila dari penjelasan yang sudah dipaparkan panjang lebar tadi, ternyata belum berhasil membuat murid-murid paham. 

Selanjutnya meskipun tidak selalu, sang guru akan membuat soal-soal latihan di papan tulis dan mulai membuka volunteer siapa yang bisa mengerjakan soal.

Dan apesnya, bila tidak ada seorang murid pun yang mau berkenan untuk maju maka sang guru akan menunjuk murid untuk maju dan sang murid tidak boleh menolak atau berkelit, bisa dibayangkan betapa tegangnya ya murid-murid di masa itu.

Dari sekilas gambaran kegiatan belajar mengajar itu, ada terbersit memori-memori masa kecil saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Saya pribadi juga mengalami adegan kegiatan belajar seperti di atas dan sayangnya apa yang menjadi pengalaman di masa lalu itu tidak terlalu menyenangkan. 

Saya masih ingat betul saat itu saya kelas 5, saat sang guru selesai memberikan tutornya untuk mata pelajaran biologi beliau membuka sesi tanya jawab.

Sebagai seorang anak yang polos dan benar-benar tidak paham saya pun mengacungkan tangan untuk memberi kode bahwa saya ingin bertanya.

Setelah saya mengutarakan maksud dan ketidakpahaman saya, sungguh yang saya terima bagai disambar petir di siang bolong. 

Sang guru yang saya harap bisa meng-counter pertanyaan saya justru berbalik menyerang saya dengan melontarkan perkataan bahwasanya pertanyaan saya sangatlah receh dan seharusnya untuk hal yang semudah itu saya sudah paham dan tidak perlu bertanya lagi.

Hal itu beliau ucapkan di depan kelas dengan disaksikan teman sekelas, sungguh saya sangat malu rasanya, merasa saya benar-benar bodoh pada waktu itu. 

Kejadian lain juga terjadi di kelas yang sama namun dengan guru yang berbeda. Saat itu pelajaran matematika, setelah sang guru selesai memberikan tutornya dilanjutkan dengan latihan soal-soal untuk mengetes sejauh mana pemahaman murid akan materi yang baru saja dibawakan. 

Setelah selesai menulis soal, beliau menunjuk acak murid untuk maju ke depan mengerjakan soal.

Beberapa berhasil menjawab dengan benar, beberapa lainnya salah menjawab sehingga harus menanggung hukuman berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki.

Tidak berhenti di situ, selanjutnya sang guru akan mulai menjewer telinga murid yang salah mengerjakan soal itu satu per satu dan otomatis anak-anak yang dihukum itu menjadi bulan-bulanan dan bahan tertawaan teman-teman sekelasnya, dan naasnya saya juga pernah berada di posisi itu.

Dampak psikologi sistem pendidikan zaman dulu

Pengalaman-pengalaman yang saya alami di sekolah dasar itu benar-benar membentuk karakter dan kepribadian saya saat saya beranjak remaja. 

Dari pengalaman tersebut ada sisi positif dan juga negatif yang saya alami. Sisi positifnya saya semakin bersemangat untuk menjadi yang terbaik dari sisi prestasi akademik agar saya tidak mendapatkan hukuman dan olokan lagi dan terbukti memang saya lulus dengan nilai terbaik waktu itu dan etos belajar ini terus saya lakukan di jenjang-jenjang pendidikan saya selanjutnya. 

Sisi negatif yang saya dapatkan adalah beberapa respon dan perlakuan dari sang guru yang terkesan memojokkan murid dengan standar pertanyaan yang dianggap remeh ataupun saat salah menjawab soal dan harus dihukum, membuat saya pada waktu itu kehilangan seluruh semangat dan kepercayaan diri saya dan hal itu benar-benar membuat malu dan menurunkan harga diri sebagai seorang murid.

Dua momen di masa sekolah dasar itu cukup berpengaruh besar di kemudian hari terhadap level kepercayaan diri dan juga self esteem saya sebagai remaja dan saat di sekolah menengah sampai-sampai ada perasaan takut saat akan bertanya, apakah pertanyaan saya ini wajar ditanyakan ataukah nantinya saya hanya akan berujung mempermalukan diri sendiri seperti pengalaman sebelumnya. 

Butuh waktu lama hingga akhirnya benar-benar bisa menyadari sumber masalahnya dan mulai berdamai dengan pengalaman masa lalu.

Tujuan saya menulis ini juga sebagai saran dan kritik dalam dunia pendidikan, entah apakah di zaman sekarang praktik-praktik seperti itu masih diterapkan di sekolah.

Namun harapan saya untuk para guru dan tenaga pengajar, selalu lihatlah anak didik kita sebagai manusia yang mempunyai perasaan.

Meskipun bagi kita orang dewasa mereka hanya anak-anak dan akan nurut-nurut saja dengan perkataan dan perintah kita, namun bukan berarti kita bisa dan berhak menggunakan cara-cara yang menurut saya kurang tepat dilakukan. 

Mencemooh murid yang bertanya sungguh akan membuat murid itu malu dan kehilangan kepercayaan diri, pengalaman itu bisa berdampak traumatis dan efek dari traumatis bisa mempengaruhi psikologinya dalam jangka panjang.

Pun begitu juga saat murid salah menjawab soal-soal, tidak perlulah menghukum dan mempertontonkan hukuman di depan kelas karena hanya akan membuat murid sekali lagi merasa malu dan kehilangan percaya diri. 

Hal ini juga secara tidak langsung mengajarkan pada anak-anak kita pesan di alam bawah sadar bahwa dalam hidup tidak boleh membuat kesalahan.

Hal ini akan mendorong anak-anak untuk melakukan sesuatu atas dasar takut bila salah akan dihukum, bukan melakukan sesuatu karena mereka menyukainya dan bersemangat dalam mengerjakannya.

Setiap murid itu unik, mereka individu yang berbeda, baik dari sisi intelegensi maupun kepribadian. 

Kita sebagai orang tua dan guru di sekolah harus lebih bijak dalam bersikap kepada anak-anak didik kita.

Kita arus memperhitungkan dampaknya untuk sang anak ke depan, kita tidak pernah tahu apa yang mereka rasakan dan bagaimana efek selanjutnya dari pengalaman itu sehingga sungguh hal yang tepat bila kita berpijak pada kasih sayang saat mendidik anak-anak, tidak hanya sekedar gugur kewajiban memberikan pelajaran atau hanya sekedar mengikuti arahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun