*Semesta Merespons Vibrasi: Mengelola Panca Indra, Pikiran, dan Karma*
Pagi itu saya duduk di teras, memperhatikan dua tetangga yang sama-sama melewati gang kecil menuju jalan raya. Satu berjalan dengan wajah tegang, napasnya berat, langkah terburu-buru. Sementara yang lain melangkah pelan, bahu rileks, senyum samar terbit di bibirnya. Keduanya berada di lingkungan yang sama, tapi suasana dalam diri mereka berbeda. Dari situlah saya kembali diingatkan: yang menentukan kualitas hari bukan semata keadaan luar, melainkan suasana batin yang kita bawa.
Kita sering mendengar kalimat "semesta merespons vibrasi, bukan apa yang kita ucapkan." Kalimat itu ada benarnya. Orang-orang di sekitar kita tidak hanya menangkap kata-kata, tapi juga energi yang terpancar lewat nada suara, bahasa tubuh, ritme napas, bahkan ekspresi halus di wajah kita. Banyak orang baik justru vibrasinya rendah, bukan karena mereka jahat, tapi karena menyimpan pola pikiran yang menghasilkan perasaan iri, keluhan, melekat pada validasi orang lain, atau mudah tersulut ketidaksabaran.
Pertanyaannya: bagaimana cara memahami pikiran yang melahirkan perasaan-perasaan negatif itu? Dan lebih jauh lagi, bagaimana cara mengubahnya agar hidup bergerak lebih selaras?
Realita - Pikiran - Perasaan - Perbuatan - Hasil Perbuatan (Karma)
Ada alur sederhana yang mungkin sering kita lupakan, padahal sangat fundamental:
1. Realita masuk lewat panca indra. Apa yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan menjadi bahan mentah bagi pikiran.
2. Pikiran memberi "tafsir". Dari satu peristiwa yang sama, pikiran bisa menafsir beberapa sudut pandang: "Dia lebih berhasil dariku" atau "Aku bisa belajar dari dia."
3. Tafsir atau frame-work itu melahirkan perasaan tertentu. Iri, malu, cemas, takut, atau justru semangat.
4. Perasaan mendorong perbuatan. Kalau iri, mungkin kita menjauh atau mengeluh. Kalau semangat, kita akan mendekat dan belajar.
5. Setiap perbuatan melahirkan hasil perbuatan (karma)---hasil yang kembali pada diri, cepat atau lambat.