Tulisan ini mengajak pembaca merenungkan tentang tabir ilusi yang menyelimuti kehidupan manusia. Melalui kisah sederhana tentang seorang pedagang bakso yang tanpa sadar berjualan di tengah kuburan, penulis menggambarkan bagaimana pikiran dan budi pekerti kita pun bisa tertutup oleh selong---pengaruh maya yang membuat kita sulit melihat kebenaran.Â
Ilusi dunia tidak selalu berbentuk gaib; seringkali ia hadir dalam wujud keinginan, ambisi, dan keterikatan pada kebahagiaan semu. Saat kita percaya bahwa dunia mampu memberi kepuasan yang abadi, saat itulah batin kita tersesat dalam kabut. Dengan bahasa reflektif dan nuansa spiritual, tulisan ini mengajak pembaca menyingkap lapisan ilusi melalui keheningan dan kesadaran murni. Sebab hanya ketika batin jernih, kita dapat melihat dunia apa adanya---bukan seperti yang dikaburkan oleh keinginan dan ketakutan.
Bagaimana jika pikiran, atau budi pekerti kita, sedang *diselong*---ditutup oleh tabir transparan---sehingga tak mampu melihat kenyataan apa adanya? Dunia ini, sesungguhnya, terbungkus oleh lapisan-lapisan ilusi. Kita melihat, mendengar, dan merasakan, namun sering kali bukan kebenaran yang kita tangkap, melainkan pantulan dari persepsi kita sendiri.
Istilah *selong* sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berada di bawah pengaruh makhluk halus---seperti kisah yang pernah saya dengar: seorang pedagang bakso yang berjualan di malam hari, tanpa sadar berdiri di tengah kompleks pemakaman. Di matanya, tempat itu tampak sebagai perumahan yang ramai; para pembelinya makhluk halus yang membayar dengan daun-daun kering, namun terlihat baginya seperti uang asli. Ia tertipu oleh lapisan maya yang menutupi pandangannya.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin ilusi dunia ini juga bisa *menyelong* budi pekerti kita?
Barangkali karena kita sering terjebak dalam keyakinan bahwa dunia mampu memberi kebahagiaan yang abadi, atau sebaliknya, kesedihan yang tak berujung. Kita menggantungkan diri pada kenikmatan sementara, lupa bahwa semua hal di dunia ini bersifat berubah---*anicca*, tidak kekal. Saat mendapat pujian, kita mabuk karenanya; saat dikritik, kita terpuruk. Budi pekerti kita bergetar mengikuti gelombang ilusi yang datang silih berganti.
Namun bila tabir itu tersingkap---meski hanya sekejap---kita mulai menyadari bahwa semua yang kita kejar hanyalah bayangan di permukaan air. Dunia tidak benar-benar memberi, juga tidak benar-benar mengambil. Ia hanya memantulkan apa yang ada di dalam kesadaran kita sendiri.
Inilah mengapa para bijak mengajarkan untuk menenangkan pikiran. Ketika pikiran diam, seperti air danau yang tenang, barulah bayangan bulan tampak sempurna di permukaannya. Tapi bila air keruh oleh amarah, iri, atau keinginan, bayangan itu pecah menjadi serpihan yang menipu.
Latihan untuk melihat melampaui ilusi dimulai dengan keheningan batin. Saat napas disadari, pikiran dipantau tanpa dihakimi, dan kata-kata di dalam kepala mulai meluruh, maka sedikit demi sedikit tirai *selong* itu terangkat. Pada saat itu, seseorang tidak lagi melihat dunia melalui kabut pikiran, tetapi melalui kejernihan kesadaran murni---*citta* yang tidak ternoda.
Dalam ajaran para suci, kesadaran murni inilah yang disebut *Atman* atau *Tathata*---hakikat sejati yang tak lahir dan tak mati. Ia tidak terikat oleh bentuk, tidak terikat oleh nama, dan tidak terjerat oleh waktu. Ketika seseorang mengenali ini, ia tidak lagi diperdaya oleh ilusi dunia. Ia berjalan di dunia, namun dunia tidak lagi menjeratnya. Ia mencintai tanpa melekat, memberi tanpa pamrih, dan hidup tanpa ketakutan.
Maka, barangkali inilah makna sejati dari membebaskan diri dari *selong*: bukan sekadar lepas dari pengaruh gaib atau makhluk halus, tetapi terbebas dari kegelapan batin yang menutupi cahaya kesadaran. Dan saat tabir itu lenyap, kita menyadari bahwa yang selama ini kita cari di luar, sesungguhnya telah diam di dalam diri---sunyi, jernih, dan abadi.